Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) - Perkara No. 102/PUU-XI/2013 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (9/1) siang. Pemohon adalah Sanusi Wiradinata yang berasal dari Bandung yang menguji sejumlah pasal dalam UU tersebut. Di antaranya adalah Pasal 77, Pasal 79 dan Pasal 81 UU Hukum Acara Pidana.
Kepada Majelis Hakim, Pemohon melalui kuasa hukumnya Hasyim N. dkk dari “Law Office Petrus Selestinus, S.H & Associates” menyampaikan mengenai perbaikan permohonan. Fokus mereka adalah Pasal 77 huruf a KUHAP. Menurut mereka, pasal tersebut tidak mengakomodir hak Pemohon.
Pemohon melihat frasa “a. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan” yang terdapat dalam Pasal 77 huruf a KUHAP merupakan sumber ketidakadilan hukum dan bersifat diskriminatif serta tidak memberikan hak sama kepada terlapor, sehingga perlu diubah atau ditambahkan frasa untuk membela hak terlapor.
“Untuk itu kami di sini mengajukan permohonan, khususnya terhadap Pasal 77 huruf a UU Hukum Acara Pidana, Sehingga Pasal 77 huruf a tersebut berbunyi,“a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penetapan tersangka atau penuntutan tersangka”.
Dengan demikian, menurut Pemohon, Pasal 77 huruf a dan beberapa pasal lainnya yang terkait (Pasal 79, Pasal 81, Pasal 82 ayat 1b, Pasal 82 ayat 3a) KUHAP tersebut bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang pengertian wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sesuai ketentuan yang diatur dalam KUHP hanya untuk sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan.
Sebagaimana diketahui, Sanusi Wiradinata selaku Pemohon perkara ini dilaporkan oleh Safersa Yusana Sertana pada 3 Mei 2012 atas tuduhan kasus percobaan pemerkosaan dan kekerasan. Kemudian pada 8 Oktober 2012, Safersa kembali melaporkan Sanusi ke pihak berwajib atas kasus pornografi. Namun sejak dilaporkan, Sanusi tidak pernah memenuhi panggilan pihak berwajib dan akhirnya menjadi buronan atau Daftar Pencarian Orang (DPO).
Selanjutnya pada 1 April 2013, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melindungi Sanusi sebagai whistleblower kasus dugaan korupsi, yang saat ini sedang ditangani aparat penegak hukum. Sesudah itu pada September 2013, Sanusi melaporkan tindakan kriminalisasi yang dialaminya ke Komis Hukum DPR. Ia merasa dikriminalisasi oleh pengacara Lucas dengan cara kongkalikong bersama oknum Polda Metro Jaya.
Dengan adanya kejadian itu, Sanusi mengajukan praperadilan dalam perkara pidana ke Pengadilan Negeri, tetapi Pemohon merasa Pasal 77 huruf a KUHAP telah membatasi hak Pemohon selaku terlapor dalam perkara pidana untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri. (Nano Tresna Arfana/mh)