Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan - Perkara No. 106/PUU-XI/2013 - digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/1) siang. Pasal-pasal yang diuji adalah Pasal 10 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 11 ayat (3), ayat (4), juga Pasal 20, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), maupun Pasal 56 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4). Pemohon adalah Ahmad Daryoko selaku Presiden Konfederasi Serikat Nasional dan Hamdani sebagai Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Nasional.
“Perlu kami sampaikan di sini, materi ini sudah pernah diujikan dan diputus Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu. Materi ini bisa saja diajukan, tergantung apakah ada hal-hal yang baru atau novum. Karena batu ujinya masih sama yaitu Pasal 33 UUD 1945. Oleh karena itu, supaya efisien, Saudara Pemohon mengemukakan hal-hal yang baru saja,” ungkap Ketua Panel, Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Pemohon mengungkapkan, dari sidang terdahulu untuk pengujian UU Ketenagalistrikan, para Ahli yang diajukan oleh Pemerintah antara Prof. Herman Rajagukguk, Prof. Reinaldi dari UI yang menyampaikan kondisi atau gambaran dalam putusan ini. Bahwa dengan adanya UU No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, menggambarkan bahwa UU tersebut sangat berbeda dengan UU No. 20/2002.
“Ideologi dalam UU No. 20/2002 jelas yakni ideologi yang menganggarkan pada kekuatan modal, ada unbundling atau pemisahan usaha secara vertikal. Sehingga pada 2004 MK memutuskan UU tersebut bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945,” jelas Ahmad Daryoko.
Daryoko melanjutkan, UU No. 30/2009 mengandung pemisahan usaha seperti UU No. 20/2002. “Bahwa pada undang-undang tersebut tidak ada liberalisasi sektor ketenagalistrikan, tidak ada privatisasi PLN atau kesempatan PLN untuk memonopoli sebagai unsur dari negara memberikan kesejahteraan kepada rakyat, tidak ada semacam itu. Bahkan PLN tetap sebagai leading sektor dari sektor ketenagalistrikan,” urai Daryoko.
Sedangkan UU No. 30/2009 “berstandar ganda”. Di satu sisi menyatakan ada potensi unbundling yang menyiratkan semangat liberalisasi, mekanisme pasar bebas, berakhirnya monopoli PLN dan privatisasi.
“Di sisi lain, dalam undang-undang tersebut ada pasal-pasal yang mencegah unbundling karena tarif listrik diatur negara,” kata Daryoko.
Pemohon menilai “standar ganda” UU No. 30/2009 sengaja diciptakan untuk kebutuhan yang berbeda-beda. Pada saat pemangku kepentingan berhasrat ‘menjual’ aset negara (privatisasi), maka diajukanlah argumentasi bahwa di sana ada pasal-pasal unbundling.
“Tetapi manakala undang-undang tersebut digugat, maka keluarlah alibi bahwa undang-undang tersebut menyiapkan pasal-pasal yang menghindarkan unbundling sehingga tidak bisa dikatakan melanggar UUD 1945,” ujar Daryoko.
Menanggapi apa yang disampaikan Pemohon, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyarankan agar Pemohon fokus pada pasal yang belum pernah diuji yakni Pasal 56 UU No. 30/2009. “Saya ingin Saudara Pemohon bisa memberikan penjelasan dan meyakinkan Majelis Hakim, bahwa keberadaan Pasal 56 Ayat (1), (2), (3) dan (4) itu betul-betul merugikan hak-hak konstitusional Pemohon,” saran Patrialis.
“Paling tidak, memiliki potensi yang merugikan Pemohon, kalau pasal tersebut tetap diberlakukan,” tandas Patrialis. (Nano Tresna Arfana/mh)