Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/1). Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) tercatat sebagai Pemohon perkara dengan Nomor 96/PUU-XI/2013 tersebut.
Dalam sidang tersebut, Pemerintah dan DPR memberikan tanggapan terhadap permohonan APINDO. Dalam keterangannya, DPR menjelaskan bahwa UU Ketenagakerjaan merupakan bagian dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk membangun sumber daya manusia Indonesia. Wakil Ketua Komisi III Al Muzzammil Yusuf yang mewakili DPR mengungkapkan pembatasan perjanjian kerja seperti yang dipermasalahkan oleh Pemohon justru dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum.
“Untuk kepentingan dunia usaha, UU Ketenagakerjaan mengatur posisi. Selain dapat pembatasan waktu kerja dibatasi selama tiga tahun sesuai dengan pasal 59 ayat (7) untuk memberi kepastian hukum agar memperhatikan syarat yang ditentukan,” ujar Al Muzzammil di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
UU Ketenagakerjaan merupakan ketentuan yang mengatur sedemikian rupa mengenai hak dan kewajiban bagi pengusaha maupun tenaga kerja. “Tak hanya itu, UU Ketenagakerjaan juga mencakup pengembangan sumber daya manusia dan daya saing tenaga kerja, pelayanan tenaga kerja, dan pembinaan hubungan industrial,” papar Yusuf.
Mengenai pasal yang dipermasalahkan oleh Pemohon, menurut DPR justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada para pekerja dengan membatasi masa kerja. Tak hanya itu, pasal yang dimohonkan juga memberikan jaminan mengenai hak para pekerja.
“Hubungan pekerja dengan pemberi kerja mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama dengan pemberi kerja dalam UU tersebut. Kemudian pasal tersebut memberikan perlindungan kepada pekerja dengan menetapkan syarat untuk menjamin agar pekerja yang mendapat borongan tidak mendapatkan hak lebih rendah dibandingkan pekerja lainnya,” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Pemerintah yang diwakili Staf Ahli Hubungan Antar Lembaga Negara Menkumham Sunarno. Menurut Pemerintah, pasal yang diuji oleh pemohon sudah pernah diputus oleh MK dalam dua putusan 12/PUU-I/2003 dan No. 27/PUU-IX/2011. Selain itu, frase “demi hukum” yang tercantum dalam pasal yang dimohonkan untuk diuji, justru disusun dalam rangka untuk memberi kepastian hukum bagi para buruh. Selain itu, Sunarno mengungkapkan pasal dalam UUD 1945 yang diajukan sebagai batu uji tidak tepat. “Batu uji tersebut tidak relevan dan terkesan dipaksakan,” urainya.
Dalam permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Ibrahim Sumantri menjelaskan Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Menurut Pemohon, dalam pendapat Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 27/PUUIX/2011 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 bukanlah persoalan konstitusionalitas melainkan hanya persoalan implementasi, namun pada kenyataannya persoalan implementasi Pasal 59 ayat (7) UU a quo menjadi persoalan konstitusionalitas karena penegakan norma dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. UU Ketenagakerjaan tidak diberikan penafsiran yang pasti oleh pembentuk Undang-Undang sehingga penerapan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang a quo menjadi multi tafsir, baik pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh. Sedangkan, dalam Pasal 65 ayat (8) UU tersebut, justru memberikan ketidakjelasan pada saat implementasi karena adanya penafsiran yang berbeda-beda. (Lulu Anjarsari/mh)