Pemerintah yang diwakili Direktur Litigasi Kemenkumham, Mualimin Abdi menegaskan bahwa Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani bertujuan untuk memberikan sebesar-besarnya kemanfaatan dan kesejahteraan bagi para petani terutama petani kecil. Menurut Pemerintah, petani yang memiliki luas lahan tidak lebih dari setengah hektare cenderung mempunyai posisi lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usaha tani, dan akses terhadap pasar. Oleh karena itu, Mualimin menampik dalil Para Pemohon yang beranggapan petani penggarap telah dirugikan karena harus membayar hak sewa kepada negara.
Mualimin menambahkan bahwa sesuai amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan pembangunan pertanian adalah untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan petani. Pemerintah mengakui bahwa selama ini petani telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi pedesaan. Oleh karena itu, petani sebagai pelaku pembangunan pertanian perlu diberikan perlindungan dan pemberdayaan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan hak dasar setiap orang guna mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan secara berkelanjutan.
“Bentuk kebijakan yang dapat diberikan untuk melindungi kepentingan petani antara lain pengaturan impor komoditas pertanian sesuai dengan musim panen danatau kebutuhan konsumsi di dalam negeri. penyediaan sarana produksi pertanian yang tepat waktu, tempat mutu, dan harga terjangkau bagi petani, serta subsidi sarana produksi, penetapan tarif, bea masuk komoditas pertanian, serta penetapan tempat pemasukan komoditas pertanian dari luar negeri dalam kawasan kepabeanan,” ujar Mualimin mewakili Presiden, Menteri Pertanian, dan Menteri Hukum dan HAM.
Perlindungan dan pemberdayaan petani, lanjut Mualimin, bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan kualitas dan kehidupan yang lebih baik, melindungi petani dari kegalauan dari risiko harga, serta menyediakan prasarana-sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani.
“Sari penjelasan filosofis maupun sosiologis, maupun ruang lingkup yang diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, nampak jelas undang-undang a quo dimaksudkan untuk memberikan sebesar-besarnya kemanfaatan dan kesejahteraan bagi para petani. Oleh karenanya menurut hemat pemerintah, undang-undang a quo telah sejalan dengan amanat Konstitusi, utamanya adalah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Mualimin.
Pemerintah, masih lewat Mualimin, menyayangkan kekeliruan dalam memaknai perlindungan petani yang sesungguhnya bermakna segala upaya untuk membantu petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan, memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim. Dari definisi tersebut, Pemerintah beranggapan pemaknaan perlindungan petani tidak bisa dicampuradukkan dengan pemberdayaan petani. Sebab, perlindungan petani diberikan kepada petani penggarap tanaman pangan yang tidak memiliki usaha tani dan menggarap paling luas dua hektare.
Mualimin menambahkan bila permohonan ini dikabulkan oleh MK, dikhawatirkan konversi lahan pertanian ke nonpertanian akan semakin meningkat. Selain itu juga akan mengakibatkan posisi petani semakin lemah karena tidak adanya kelembagaan yang mewadahi para petani sehingga pembinaan petani menjadi tidak efektif dan efisien. Lebih jauh dari itu, Pemerintah juga menilai bila gugatan Pemohon dikabulkan akan menyebabkan tidak tercapainya kemandirian dan kedaulatan serta pertahanan pangan nasional. (Yusti Nurul Agustin/mh)