Pemohon Pengujian Undang-Undang Sumber Daya Air menghadirkan ahli untuk menguatkan dalil Pemohon yang mempersoalkan terbitnya peraturan pemerintah tentang pengembangan sistem penyediaan air minum pada persidangan yang digelar Rabu (18/12). Pemohon beranggapan peraturan pemerintah tersebut telah membuka celah bagi masuknya pihak swasta dalam pengelolaan air yang seharusnya dikelola negara demi kepentingan warga negara Indonesia.
Salah satu ahli yang dihadirkan Pemohon, yaitu Suteki, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponogoro. Sesuai keahliannya, Suteki menyampaikan asas keadilan terhadap akses ketersediaan air bersih merupakan merupakan bentuk keadilan sosial bukan keadilan individual sehingga tidak dapat diserahkan kepada tiap-tiap individu berdasarkan sistem ekonomi pasar liberal.
“Dalam bidang pengelolaan sumber daya air, Pancasila dapat menjadi landasan politik hukum hak menguasai negara atas sumber daya air untuk diarahkan agar pengelolaan sumber daya air tidak menindas mereka yang lemah secara sosial dan ekonomis, atau penduduk miskin. Ketersediaan air yang tetap, sementara kebutuhan terhadap air semakin meningkat kuantitasnya dan kualitasnya, maka yang akan terjadi adalah kelangkaan. Pada tahap kelangkaan air inilah, asas keadilan menjadi amat penting dalam pengelolaan air. Keadilan akses terhadap air bukan keadilan individual atau mikro, tetapi keadilan sosial atau makro. Keadilan untuk mendapatkan air sebagai HAM tidak dapat diserahkan kepada tiap-tiap individu berdasarkan mekanisme pasar, melainkan campur tangan pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak atas air, minimal sangat dibutuhkan,” jelas Suteki.
Suteki berharap bahwa pemerintah dapat membentuk struktur sosial ekonomi penyediaan air, sehingga tidak jatuh di tangan perorangan atau mekanisme pasar liberal. Privatisasi air, lanjut Suteki, sangat bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumber daya air berbasis nilai keadilan sosial. Meski begitu, Suteki membenarkan bahwa secara tekstual dan eksplisit, Undang-Undang Sumber Daya Air tidak pernah menyebut adanya agenda privatisasi air dalam satu pasal pun.
Namun, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang dibentuk sebagai tindaklanjut putusan MK terhadap Pengujian UU Sumber Daya Air sebelumnya justru telah membuka peluang adanya penyelenggaraan air minum oleh swasta tanpa batasan pada keseluruhan tahapan kegiatan. PP No. 16 Tahun 2005 itu juga menyatakan keterlibatan swasta dalam penyelenggaraan air minum di wilayah yang belum dilayani oleh BUMN dan BUMN dapat dilakukan pada seluruh tahapan penyelenggaraan. Artinya, tanggung jawab negara telah digantikan oleh badan swasta yang berorientasi pada provit. Padahal, putusan MK atas judicial review Undang-Undang Sumber Daya Air menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat atas air.
Hal senada juga disampaikan Absori, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta yang mengatakan sumber daya air boleh digunakan tetapi harus bermanfaat bagi masyarakat luas. Sesuai cita-cita Pancasila, Absori menegaskan, kebijakan pengelolaan sumber daya alam harus berpegang pada tanggung jawab negara sebagai pemegang kekuasaan sumber daya alam dan upaya memperkuat hak-hak masyarakat sebagai pemegang kedaulatan negara yang sesungguhnya.
Selain itu, Absori mengatakan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 seharusnya menjadi dasar untuk mengambil segala tindakan dalam bidang sumber daya alam, yakni Pemerintah harus sanggup melindungi segenap bangsadan seluruh tumpah darah Indonesia, dapat meningkatkan kesejahteraan umum, menaikkan taraf kehidupan kecerdasan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
“Ini prinsip dasar yang dijadikan titik tekan dari politik sumber daya alam ke depan, termasuk air sebagai sumber daya alam yang harus dapat dipergunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mewujudkan keadilan rakyat,” tukas Absori. (Yusti Nurul Agustin/mh)