Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Legislatif 2014 yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Partai Demokrat dihadiri narasumber pakar hukum tata negara M. Ali Safaat yang menyampaikan makalah bertema “Partai Politik, Demokrasi dan Pemilihan Umum” pada Rabu (18/12) pagi di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
Saat ini, kata Ali Safaat, harus diakui ada pandangan miring terhadap partai politik. Pandangan miring tersebut bahwa partai politik tidak pernah memikirkan kesejahteraan para anggotanya, terlalu berambisi mengejar kekuasaan, dan lain-lain. Bahkan kalau ada anggota partai yang sudah berkuasa, seringkali lupa dengan para pendukungnya. “Tetapi secara akademis, mau tidak mau, saya harus menjelaskan bahwa sepanjang kita menasbihkan diri sebagai negara demokrasi, kita tidak bisa meninggalkan partai politik. Karena partai politik lahir bersamaan dan sekaligus sebagai akibat dari demokrasi. Tanpa partai politik, bisa dikatakan tidak akan ada demokrasi,” jelas Safaat.
Dikatakan Safaat, pada saat reformasi, partai politik sangat digandrungi dan diikuti 48 partai politik yang ikut pemilu. Ramai-ramai orang mendirikan partai politik, terlepas apa motivasinya. Banyak tokoh organisasi kemasyarakatan mendirikan partai politik. Bahkan banyak birokrat, akademisi ikut mendirikan partai politik.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah tidak mungkin pemilihan umum dilaksanakan tanpa partai politik? “Jawabnya, mungkin. Sejarah awal, justru pemilihan umum terlebih dahulu, bukan partai politik terlebih dahulu,” ungkap Safaat.
Kala melihat sejarah pemilihan umum di dunia, Inggris sebagai yang paling awal membentuk parlemen atau House of Commons yang dipilih melalui pemilihan umum. Jadi tidak berangkat dari partai politik. Demikian pula Amerika Serikat, serupa dengan Inggris pada awalnya. “Namun pada saat parlemen mau membuat keputusan, pasti terjadi faksionalisasi, tanpa partai politik. Ketika di DPR mau membuat undang-undang, pasti terjadi faksionalisasi atau pengelompokkan anggota parlemen. Contoh, kita mau membuat Undang-Undang Pornografi dan Undang-Undang Pornoaksi, terjadi pengelompokan. Kenapa? Karena setiap anggota yang duduk di parlemen, tidak akan mungkin memperjuangkan aspirasinya tanpa dukungan anggota lain,” urai Safaat.
“Tanpa adanya partai politik pada saat itu, faksionalisasi bisa saja terjadi berdasarkan kesamaan dalam memandang satu masalah yang dilatar belakangi kesamaan-kesamaan yang lain. Misalnya, untuk memutuskan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi, mungkin yang akan paling berpengaruh adalah kesamaan agama. Atau setidaknya kesamaan pemahaman tentang agama,” papar Safaat.
Lebih lanjut Safaat menjelaskan tujuan umum partai politik, yaitu mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana dimaksud dalam pembukaan UUD 1945; menjaga dan memelihara keutuhan negara; mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); serta mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (Nano Tresna Arfana/mh)