Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar kembali menyampaikan makalah bertema “Perkembangan Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi” saat menjadi narasumber “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian PHPU Legislatif 2014” yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Partai Demokrat pada Selasa (17/12) malam di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
“Materi ini akan mengulas beberapa putusan MK yang pada saat ini sudah diposisikan sebagai yurisprudensi. Apabila dilihat dari perspektif hukum Islam, yurisprudensi sama dengan ijtihad atau pendapat yang bersamaan dari para ahli pada suatu masa tertentu. Juga ada yang mengartikan yurisprudensi merupakan tafsir yang diberikan oleh pengadilan. Biasanya tafsir yang diberikan oleh pengadilan tertinggi ketika hakim menjumpai adanya ketidakjelasan hukum,” ucap Janedjri.
Dikatakan Janedjri, bahkan ada ahli yang menafsirkan yurisprudensi tidak hanya sekadar putusan atau serentetan putusan pengadilan. Lebih dari itu, yurisprudensi merupakan hukum yang dibentuk berdasarkan putusan hakim. “Tetapi yang perlu kita pahami bersama-sama, bahwa yurisprudensi MK ini merupakan putusan-putusan yang dihasilkan oleh MK, yang kemudian jadi rujukan bagi hakim konstitusi untuk memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum berikutnya. Baik itu Pemilu Presiden, Wakil Presiden, Pemilu anggota Legislatif, DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, termasuk anggota DPD, juga perselisihan hasil pemilu kepala daerah,” jelas Janedjri.
“Sebelum kita memasuki substansi materi yurisprudensi MK apa saja yang telah memengaruhi perkembangan hukum pemilu, maka saya perlu menjelaskan terlebih dahulu konstruksi berpikir mengapa yurisprudensi, dalam hal ini putusan Mahkamah, kemudian memengaruhi perkembangan hukum pemilu,” kata Janedjri.
Secara sederhana, kewenangan MK untuk memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan Pemilu, dilaksanakan melalui dua pintu. Pintu pertama, melalui kewenangan menguji konstitusionalitas UU di bidang pemilu. Maksud menguji konstitusionalitas UU adalah menguji UU terhadap UUD. Apabila dapat dibuktikan bahwa norma yang terdapat dalam UU ternyata melanggar konstitusi, maka Mahkamah wajib membatalkan norma yang termuat dalam UU. “Apabila ini terjadi, maka putusan Mahkamah akan memengaruhi hukum pemilu,” jelas Janedjri.
Sedangkan pintu kedua, melalui kewenangan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, baik presiden, legislatif maupun kepala daerah. Seperti disebutkan dalam UUD 1945, kewenangan MK antara lain memutus perselisihan hasil pemilihan umum. Norma dasar yang terdapat dalam UUD 1945, kemudian diturunkan dalam UU, dan di situ diketahui bahwa kewenangan Mahkamah hanya sebatas keberatan atau perbedaan pendapat mengenai hasil Pemilu, antara penyelenggara pemilu dan peserta Pemilu.
Perbedaan pendapat tersebut dikaitkan dengan kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU, yang memengaruhi hasil Pemilu. “Jadi dalam konstitusi kita sudah jelas, kewenangan Mahkamah itu memutus perselisihan hasil. Namun ketika dalam UU, rumusan norma itu kemudian lebih operasional, tidak memutus perselisihan hasil, namun memutus kesalahan penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional,” kata Janedjri.
“Konstruksi normatif semacam ini yang diatur dalam UU, ternyata tidak dapat dilaksanakan seperti norma yang telah termuat dalam peraturan perundangan yang ada. Sehingga melalui putusan-putusannya, MK telah mengeluarkan norma baru, membatalkan norma lama, bahkan menghasilkan konsep hukum baru yang kemudian berakibat pada munculnya prinsip-prinsip hukum baru dalam Pemilu. Inilah konstruksi berpikirnya,” tegas Janedjri.
Meskipun demikian, kata Janedjri, konstruksi normatif semacam itu tetap saja memiliki sejumlah kelemahan. Di antaranya, penghitungan suara hanya merupakan bagian kecil dari proses pemilu, padahal banyak tahapan lain juga harus dilaksanakan berdasarkan prinsip pemilu yang demokratis. Bahwa Pelanggaran di semua tahapan dapat memengaruhi hasil Pemilu. Inilah yang jadi salah satu kelemahan konstruktif normatif. (Nano Tresna Arfana/mh)