Hakim Konstitusi Harjono menyampaikan makalah bertema “Hukum Acara Penyelesaian PHPU Anggota DPR, DPD dan DPRD” saat menjadi narasumber “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian PHPU Legislatif 2014” yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Partai Demokrat pada Selasa (17/12) malam di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor.
“Peserta pemilu adalah parpol untuk pemilihan anggota DPR, DPRD, baik DPRD Provinsi, Kabupaten maupun Kota dan kemudian perorangan untuk DPRD,” kata Harjono saat membuka materi.
Harjono menjelaskan, pasca perubahan UUD 1945, parpol bisa disebut sebagai lembaga konstitusi. Kenapa disebut lembaga konstitusi? Karena dalam ketentuan UUD 1945 sudah jelas disebutkan, parpol lah yang ikut dalam pemilu, dan parpol juga yang mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden.
“Kalau kita melihat UUD 1945 sebelum diubah, tidak ada satu kata pun menyebutkan partai politik. Oleh karena itu parpol secara formal konstitusional, keberadaannya sekarang menjadi sebuah lembaga konstitusi, mempunyai posisi-posisi yang diakui dan dilindungi serta diberi hak-hak oleh UUD,” urai Harjono.
“Salah satu di antaranya, kalau Presiden dan Wakil Presiden dalam waktu bersamaan tidak bisa menjalankan tugasnya, maka sebelum masa tugas lima tahun dan untuk melanjutkan masa tugas lima tahun, MPR harus memilih Presiden dan Wakil Presiden untuk menggantikan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak bisa melaksanakan tugasnya dan calonnya diusulkan oleh parpol,” tambah Harjono.
Hal inilah, menurut Harjono, jadi satu indikasi bahwa partai politik setelah perubahan UUD 1945, tidak hanya dianggap sebagai infrastruktur politik, tetapi sudah ditempatkan menjadi lembaga konstitusi. “Tidak banyak konstitusi dunia yang mempunyai seperti itu. Konstitusi Amerika pun tidak menyebut keberadaan parpol. Partai Demokrat dan Republik di Amerika tidak tumbuh karena disebut dalam konstitusi, tapi karena tumbuh dalam proses sejarahnya menjadi kekuatan utama di Amerika,” imbuh Harjono.
Ditambahkan Harjono, partai politik memiliki kedudukan istimewa dalam konstitusi di Indonesia. Karena kalau sampai terjadi sebuah partai politik dibubarkan, maka pembubarannya harus melalui proses peradilan, tidak bisa Presiden sekalipun membubarkan parpol. Namun hanya MK yang bisa membubarkan partai politik, tidak bisa dilimpahkan kepada lembaga negara lain.
“Kenapa demikian? Karena partai politik adalah pencerminan dari kebebasan berserikat dan berkumpul sebagai sebuah ciri dari tatanan demokrasi,” tegas Harjono.
Harjono melanjutkan, setelah terjadi perubahan UUD 1945, paradigma bangsa Indonesia adalah sebuah negara hukum dengan konstitusi tertulis yang merupakan the supreme law of the land. Berbeda dengan pemerintahan Indonesia masa lalu, bahwa konstitusi tidak bisa dikatakan sebagai hukum tertinggi negara. Namun yang terjadi adalah supremacy of the parlement.
“Parlemennya adalah MPR. Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Itulah bukti bahwa Indonesia saat itu menganut supremasi parlemen,” ungkap Harjono.
Lantas apa perbedaan antara supremasi parlemen dengan supremasi konstitusi. Dalam supremasi parlemen tidak dikenal mekanisme judicial review atau pengujian UU. Karena kalau UU yang dibuat oleh parlemen bisa diuji, maka gugurlah pengertian supremasi parlemen. Pengujian UU itu justru muncul dalam satu sistem supremasi konstitusi, bahwa konstitusi adalah hukum tertinggi dalam negara. (Nano Tresna Arfana/mh)