Pakar hukum dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Winarno Yudho, kembali hadir sebagai narasumber “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian PHPU Legislatif 2014” yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Partai Demokrat pada Selasa (17/12) di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. Tema yang diangkat adalah “Independensi dan Imparsialitas Lembaga Peradilan”.
“Bicara mengenai pengadilan, nampaknya kita mempunyai persepsi yang belakangan ini cenderung negatif. Banyak kasus yang dilakukan oknum-oknum hakim maupun nonhakim di pengadilan. Yang terakhir adalah kasus ditangkapnya Pak Akil Mochtar terkait kasus Pemilukada,” kata Winarno membuka pertemuan itu.
Adanya kasus semacam itu, ujar Winarno, membuat kepercayaan orang terhadap peradilan semakin turun. Sebelum adanya kasus Akil, MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman menjadi lembaga peradilan yang dapat dibanggakan. “Seperti petir di siang bolong, orang terhenyak. Lho, itu bisa juga terjadi di MK. Itu menjadi peristiwa yang sangat memprihatinkan,” ungkap mantan Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian MK ini kepada hadirin.
Lebih lanjut Winarno menguraikan soal independensi lembaga peradilan. “Independensi lembaga peradilan mulai ada terkait munculnya prinsip pemisahan kekuasaan. Karena pada waktu sebelum pemisahan kekuasaan, cabang-cabang kekuasaan itu ada hanya pada satu orang. Kala itu dikenal dengan paham absolutisme yang muncul di Eropa Barat, seorang raja memegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif,” imbuh Winarno.
Sampai akhirnya timbul ide pemisahan kekuasaan untuk menghindarkan pemusatan kekuasaan pada satu orang. Artinya, kekuasaan eksekutif harus dipisahkan dari kekuasaan legislatif. Demikian pula kekuasaan legislatif harus dipisahkan dari kekuasaan yudikatif. Jadi ada tiga cabang kekuasaan yang harus dipegang oleh pihak yang berlainan. “Di situlah muncul independensi dari lembaga peradilan,” ucap Winarno.
Konsep pemisahan kekuasaan ini diterima dan berkembang di dunia, termasuk memengaruhi hukum tata negara di Indonesia. Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Ini diartikan, lembaga peradilan punya kebebasan, kemerdekaan memeriksa dan memutus perkara tanpa campur tangan pihak eksekutif maupun legislatif.
“Tujuannya adalah dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini sesuai Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan UUD 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,” tandas Winarno.
Sedangkan pengertian imparsialitas lembaga peradilan, artinya harus bersikap netral, tidak memihak pada salah satu pihak yang berperkara, seimbang dalam pemeriksaan antara kepentingan yang terkait dalam perkara, prinsip audi et alteram partem, serta putusan diharapkan dapat menjadi solusi hukum yang adil.
“Bahwa hakim harus melaksanakan tugas peradilan tanpa prasangka dan tidak condong pada salah satu pihak. Hakim harus menampilkan perilaku, baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk tetap menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, profesi hukum dan para pihak yang berperkara terhadap ketidakberpihakan hakim dan peradilan,” papar Winarno.
Di samping itu, hakim harus berusaha meminimalisasi hal-hal yang dapat mengakibatkan hakim tidak memenuhi syarat untuk memeriksa perkara dan mengambil putusan atas suatu perkara. Juga, hakim dilarang memberi komentar terbuka atas perkara yang akan, sedang diperiksa atau sudah diputus, baik oleh hakim yang bersangkutan atau hakim lain. (Nano Tresna Arfana/mh)