Pakar hukum tata negara, Saldi Isra, hadir sebagai narasumber acara “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian PHPU Legislatif 2014” yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Partai Demokrat pada Selasa (17/12) pagi di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. Tema yang diangkat adalah “Penyelenggaraan, Perselisihan Hasil dan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Legislatif”.
“Kalau kita bicara pemilu, salah satu fokus kita adalah kerawanan-kerawanan yang mungkin muncul dalam Pemilu itu sendiri. Hampir setiap tahapan Pemilu memiliki kerawanan dan masalah tersendiri,” kata Saldi Isra yang didampingi moderator Ardiansyah Salim dari MK.
Namun, lanjut Saldi, ada masalah yang bisa dikatakan sederhana dan tidak menimbulkan dampak luar biasa. Selain itu ada masalah yang berpotensi menimbulkan persoalan sangat serius. Hal ini bisa terjadi karena partai politik atau peserta pemilu keberatan dengan apa yang dilakukan penyelenggara pemilu.
“Bisa juga terjadi karena ada gesekan antara parpol peserta pemilu dengan parpol peserta pemilu yang lain, dan mungkin saja akan terjadi gesekan di internal parpol itu sendiri,” ungkap Saldi. Contoh kasus, ada partai politik yang menolak keputusan-keputusan yang dikeluarkan KPU, atau ada peraturan perundangan yang dikeluarkan KPU kemudian dianggap merugikan parpol, lalu menimbulkan gesekan.
Dikatakan Saldi, konstitusi di Indonesia sekarang memberikan proporsi yang berbeda untuk penyelenggaraan Pemilu jika dibandingkan dengan pemilu 1999. Saat itu, penyelenggara Pemilu merupakan gabungan wakil partai politik dan pihak yang bukan dari partai politik. Sehingga konfliknya jadi rumit, di internal partai politik pun sering terjadi saling ‘cakar-cakaran’.
“Pada akhirnya, begitu dilakukan amandemen UUD 1945, disepakati untuk melahirkan penyelenggara Pemilu yang independen,” imbuh Saldi.
Lebih lanjut Saldi menerangkan sejumlah potensi kerawanan yang kerapkali muncul dalam penyelenggaran pemilihan umum. Di antaranya saat verifikasi partai politik peserta pemilu. Pada tahapan itu memang belum ada partai politik yang secara resmi sebagai peserta Pemilu. Sertifikat yang didapat partai politik dari Kementerian Hukum dan HAM belum cukup jadi syarat peserta Pemilu, tetapi banyak syarat lainnya. Ketidaklengkapan persyaratan itulah yang menyebabkan sebagian parpol tersisih untuk jadi peserta Pemilu.
“Partai politik harus memenuhi syarat UU Pemilu Legislatif, misalnya punya pengurus parpol di semua provinsi, dan sebagainya,” ujar Saldi.
Di samping itu, pemutakhiran data pemilu potensial menimbulkan masalah, karena hal ini menjadi dasar perhitungan partai politik untuk mengkalkulasikan perolehan suara di 2014. Jadi, kata Saldi, kalau tidak ada selisih yang besar antara Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan pemilih yang sesungguhnya, dicurigai hal ini menjadi modus penggelembungan suara, dan sebagainya.
“Soal DPT memang harus hati-hati karena hal itu bisa menjadi titik pijak semua pihak yang menolak hasil pemilu 2014,” tegas Saldi.
Saldi melanjutkan, tahapan Pemilu yang juga berpotensi menimbulkan kerawanan adalah pada masa kampanye pemilu. Di antaranya, terkait dana kampanye dari penyumbang fiktif dan bantuan pihak asing, politisasi birokrasi, politik uang, kampanye hitam, pemasangan alat peraga yang tidak sesuai dengan ketentuan, dan sebagainya. Kerawanan lainnya, adalah saat masa tenang, sering terjadi praktik politik uang. Sedangkan pada pemungutan maupun penghitungan hasil pemilu, kerap terjadi manipulasi penghitungan suara, serta mengubah berita acara hasil penghitungan suara. (Nano Tresna Arfana/mh)