\\"Kehadiran MK tidak hanya memelihara hak konstitusional yang jelas diatur, tetapi hak perorangan yang tidak diatur pun juga dilindungi oleh konstitusi. Hak tersebut dicantumkan di dalam Undang Undang Dasar 1945, mulai dari pasal 28 huruf A hingga huruf C tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Dan, setiap orang harus diperlakukan secara adil dan beradab sesuai dengan Pancasila sila kedua.\\"
Demikan salah satu pernyataan dari anggota Forum Konstitusi dan mantan anggota Panitia Ad Hoc di Majelis Permusyawaratan Rakyat saat dilakukan amandemen, Gregorius Seto Harianto, dalam acara Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum dengan Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kehidupan Bernegara (LPPKB) yang berlangsung di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor, Jumat (13/12) malam.
Terkait dengan hukuman mati bagi koruptor, Seto mengatakan bahwa hal tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia yang telah dijamin oleh Undang Undang Dasar 45. Terkait benar atau salahnya hukuman mati bagi koruptor, hanya undang-undang yang harus memberikan aturan tersebut, tetapi harus tetap memiliki prinsip nilai yang ada dalam Pancasila dan UUD 45. \\"Hukuman mati bagi seorang koruptor sebenarnya bisa saja terjadi apabila ada kesepakatan antara pembentuk UU dengan menyerap aspiasi masyarakat dengan Pemerintah. Karena didalam UUD 45 telah memberikan keleluasaan kepada pembentuk undang-undang dan Pemerintah untuk dapat memberikan kemakmuran rakyat,\\" jelasnya.
Sebelumnya Seto menyampaikan bahwa MK memiliki empat dan satu kewajiban, di mana putusan MK adalah bersifat final dan mengikat secara hukum. Empat kewenangan tersebut adalah MK memutus pengujian Undang Undang terhadap UUD 45, memutus Sengketa Kewenangan antar Lembaga Negara (SKLN) yang kewenangannya diberikan oleh UUD 45, memutus pembubaran Partai Politik, dan yang terakhir adalah, MK berwenang memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum, baik pemilihan umum Presiden dan Legislatif, maupun Pemilihan Kepala Daerah. Sementara kewajiban MK adalah memberi putusan terhadap dugaan DPR yang menilai bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran perbuatan tercela, korupsi dan pelanggaran yang ditetapkan dalam UUD 1945.
\\"Di dalam Undang Undang Dasar 1945 mengatakan, seharusnya pemilu itu dilakukan dengan cara pemilihan lima kotak, yang artinya pemilihan legislatif baik DPR, DPD DPRD tingkat provinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota serta pemilihan Presiden dan Wakil Presidenan. Teapi hal tersebut dibelokkan oleh para partai politik dan pembentuk undang-undang untuk melakukan pemilihan legislatif sendiri dan pemilihan presiden sendiri, dengan biaya yang sangat mmiliki pengeluaran dana yang sangat besar,\\" jelas Seto.
Lanjut Seto, MK dan Mahkamah Agung adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang kedudukannya adalah sama atau sejajar, tetapi mereka dibedakan dengan fungsi dan tugasnya. MK ditetapkan hanya menguji undang-undang terhadap UUD, sedangkan kewenangan MA adalah menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Selain itu, terkait dengan arti negarawan yang ada di dalam persyaratan sebagai hakim konstitusi. Seto menerangkan, arti negarawan tersebut adalah seseorang yang benar-benar tidak memiliki ambisi untuk berpolitik ataupun mengutamakan ekonomi. \\"Memang sifat negarawan yang dimaksud seperti iti. Tetapi ada buktinya semuanya dibuat melenceng jauh dari Undang Undang Dasar 1945,\\" ujar Seto. (Panji Erawan/mh)