Sekertaris Jendral Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar membagikan ilmu dan pengalamannya mengenai yurisprudensi MK mengenai hukum Pemilu bagi para kader Partai Gerindra dalam Bimbingan Teknis Sengketa Hasil Pemilu yang digelar Rabu, (11/12/2013) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK di Cisarua, Bogor.
Janedjri mengawali paparannya dengan menjelaskan definisi dari yurisprudensi. Menurutnya, yurisprudensi adalah putusan pengadilan yang bersifat ajeg, yang menjadi rujukan bagi hakim lain untuk memutus suatu perkara. Sejauh ini, MK telah melahirkan sejumlah yurisprudensi yang memengaruhi hukum dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, salah satunya adalah penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
“Meski pada awalnya putusan ini banyak ditentang oleh partai politik, namun kenyataannya putusan MK tetap harus dilaksanakan. Banyak partai termasuk Gerindra yang memprotes. Namun tetap saja semua harus mematuhi putusan MK yang bersifat final dan mengikat,“ ujar penyandang Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang ini.
Pada kenyataannya, banyak putusan MK yang telah dinormakan dan telah menjadi UU, meskipun belum seluruhnya. Putusan MK yang belum dinormakan diharapkan dapat menjadi bahan ketika berperkara di MK.
Selain menyampaikan contoh yurisprudensi MK terkait penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, MK juga telah menghasilkan yurispridensi lain yang kerap menjadi acuan bagi hakim lain, yakni terkait calon perseorangan dalam Pemilukada, mengenai syarat calon tak pernah dipidana dan pemulihan hak pilih mantan anggota PKI. Diakuinya, putusan ini merupakan salah satu putusan MK yang paling fenomenal.
Putusan yang dihasilkan MK ini berangkat dari pemikiran para hakim konstitusi bahwa negara tidak boleh merampas hak warga negara berdasarkan pertimbangan politis. “Semua warga negara berhak dipilih dan memilih dan negara dalam hal ini tidak dapat menggunakan alasan politis untuk menghilangkan hak fundamental tersebut. Larangan untuk memilih dan dipilih hanya dapat diberlakukan karena alasan ketidakcakapan atau ketidakmungkinan yang diputuskan oleh pengadilan, bukan karena UU yang melarang,” tukas Janedjri di hadapan 130 kader Partai Gerindra. Jika larangan politis tetap diberlakukan, maka hal itu dipandang sebagai bentuk ketidakadilan negara terhadap warganya.
Janedjri berharap kepada para kader Partai Gerindra yang berkesempatan mengikuti Bimtek kali ini dapat menyebarluaskan ilmu yang didapat kepada masyarakat, khususnya bagi sesama kader Gerindra. Tak lupa ia berpesan agar para hadirin turut membantu MK dalam menjaga kewibawaan Hakim Konstitusi.
“Jangan pernah percaya jika ada yang menjanjikan dapat membantu kemenangan berperkara di MK karena sesungguhnya MK tidak dapat memenangkan pihak yang seharusnya kalah, dan mengalahkan pihak yang seharusnya menang. Bahwa semua putusan berdasarkan barang bukti, saksi-saksi dan dalil-dalil dan mari kita berperkara secara benar,” ujarnya (Julie/mh)