Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disingkat KUHAP- Perkara No. 102/PUU-XI/2013 - pada Kamis (12/12) siang. Pemohon adalah Sanusi Wiradinata selaku pengusaha, melakukan pengujian terhadap Pasal 77 huruf a, Pasal 79, Pasal 81, Pasal 82 ayat 1b dan Pasal 82 ayat 3a.
Melalui kuasa hukumnya, Petrus Selestinus, mengemukakan sejumlah alasan Pemohon melakukan uji materi KUHAP yang mengatur mengenai alasan praperadilan. Bahwa Pemohon Yberkeyakinan penuh, hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam UUD 1945 telah dirugikan atas berlakunya Pasal 77 huruf a KUHAP dan beberapa pasal lainnya yang terkait.
Pasal 77 huruf a tersebut telah membatasi hak Pemohon selaku terlapor dalam perkara pidana untuk mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri, atas tindakan kriminalisasi yang dilakukan oknum penegak hukum, dalam hal ini penyidik di Polda Metro Jaya.
“Di antaranya melakukan penangkapan terhadap Pemohon secara tidak sah, menetapkan Pemohon sebagai tersangka secara tidak sah, serta menahan Pemohon selama sebelas hari,” jelas Petrus.
Menurut Pemohon, Pasal 77 huruf a sangat tidak adil karena Pemohon tidak diberikan hak untuk memohon hakim praperadilan untuk memeriksa dan memutus sesuai ketentuan dalam UU tersebut. Padahal sesuai fakta, ungkap Pemohon, yang dapat ‘bermain’ dengan oknum penegak hukum bukan hanya pihak terlapor saja, misalnya dengan cara penyidik menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) secara tidak sah.
“Namun justru pelapor yang diketahui bekerja sebagai ‘boneka’ dan merupakan bagian mafia hukum Pengacara Lucas yang justru sering diketahui ‘bermain’ dengan oknum penegak hukum untuk menetapkan terlapor sebagai tersangka secara tidak sah dan menerbitkan status lengkap terhadap berkas perkara secara tidak sah,” papar Petrus.
Pemohon melihat frasa “a. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan” yang terdapat dalam Pasal 77 huruf a KUHAP merupakan sumber ketidakadilan hukum dan bersifat diskriminatif serta tidak memberikan hak sama kepada terlapor, sehingga perlu diubah atau ditambahkan frasa untuk membela hak terlapor. Sehingga Pasal 77 huruf a tersebut berbunyi, “a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penetapan tersangka atau penuntutan tersangka”.
Dijelaskan Pemohon, sebagai dampak langsung perubahan Pasal 77 huruf a, maka beberapa pasal yang berkaitan langsung dengan Pasal 77 harus disesuaikan. Misalnya, Pasal 79 yang baru menyebutkan, “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan, penahanan, penetapan tersangka atau penuntutan tersangka, diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.”
Sedangkan Pasal 81, menurut Pemohon, berubah menjadi “Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penetapan tersangka atau penuntutan tersangka, akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut alasannya.” (Nano Tresna Arfana/mh)