Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang diajukan oleh mantan ketua serikat pekerja, advokat dan karyawan PT. Muria Jaya Karawang Agus dan Didik Qurniawan, karyawan PT. Sangwan Dinasindo yang di-PHK karena telah menentang peraturan perusahaan yang menetapkan outsourching.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman, Selasa (10/12), Agus, salah seorang Pemohon yang hadir di persidangan tanpa didampingi oleh kuasa hukumnya mempersoalkan kepastian hukum yang diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI yang mengatur mengenai jenis perselisihan hubungan industruial. “Para Pemohon adalah perseorangan yang merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,” terang Agus.
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 2 UU PPHI yang menyatakan jenis perselisihan hubungan industrial meliputi : a. perselisihan hak, b. perselisihan kepentingan; c. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan d. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, tidak memberikan kepastian hukum, serta tidak memberikan keadilan dan hak dimuka hukum. “Pasal 2 Undang-Undang PPHI tidak mengatur hal-hal yang bersifat konkrit karenanya hanya bersifat deklarator serta tanpa objek yang jelas, sehingga UU tersebut tidak memiliki kepastian hukum dan jaminan dimuka hukum,” tegasnya.
Selain itu, Pemohon juga telah mengajukan perselisihan tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung dengan nomor perkara 25/G/2011/PHI/PN.BDG yang memutuskan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, namun oleh PT. Sangwan Dinasindo diajukan kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor perkara 164 K/PDT.SUS/2012 dan sudah diputus pada 15 Agustus 2012 dengan amar putusan mengabulkan kasasi Pemohon Kasasi PT. Sangwan Dinasindo. Tetapi PT. Sangwan Dasindo tidak menjalankan putusan MA, yaitu menyelesaikan pembayaran hak Pemohon II Didik Qurniawan.
Oleh karena itu, para Pemohon menilai salah satu persoalan yang kerap terjadi setelah adanya putusan pengadilan adalah pelaksanaan (eksekusi) putusan pengadilan PHI, di mana dalam UU tersebut tidak disebutkan sanksi pidana bagi pihak yang tidak melaksanakan isi putusan pengadilan dan pelaksanaan putusan PPHI sulit dieksekusi atau bahkan sulit diletakkan sita eksekusi karena ketidakjelasan objek. Sehingga Pemohon meminta kepada majelis hakim MK menyatakan Pasal 2 UU PPHI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Terhadap permohonan para pemohon, majelis hakim konstitusi memberikan nasihat agar Pemohon mempertajam argumentasi kerugian konstitusional yang dialami Pemohon akibat berlakunya pasal yang diujikan. “ Pemohon sebaiknya melakukan perbaikan permohonannya, di mana pemohon lebih mempertajam argumentasi di mana letak diskriminasi atau ketidakjelasan yang muncul akibat dari ketentuan yang berlaku umum tersebut,” ucap Hakim Konstitusi Harjono. (Panji Erawan/mh)