Sekretaris Jenderal Mahkamah Konsitusi (MK) Janedjri M. Gaffar menjadi narasumber dalam acara “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Partai Golkar” pada Jumat (6/12). Tema makalah yang dipaparkan adalah tentang “Perkembangan Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi”.
“Materi ini berangkat dari perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi, baik melalui pintu putusan pengujian UU khususnya di bidang pemilu serta melalui pintu putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif, Perselisihan Hasil Pemilukada,” kata Janedjri.
“Banyak sekali putusan yang menyebabkan hukum pemilu berkembang. Tidak lagi sesuai dengan konstruksi normatif awal,” tambah Janedjri.
Dikatakan oleh Janedjri bahwa kalau mempelajari Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang tentang MK, maka dapat diketahui bahwa kewenangan MK dalam perkara pengujian UU adalah menguji konstitusionalitas UU, dalam hal ini terkait dengan pengaturan mengenai Pemilu.
“Menguji konstitusionalitas UU, artinya menguji apakah UU terkait dengan pengaturan pemilu bertentangan atau tidak bertentangan dengan UUD. Ketika dapat dibuktikan dalam persidangan Mahkamah bahwa sebuah UU bertentangan dengan UUD, maka wajib bagi MK untuk membatalkan UU tersebut,” urai Janedjri.
Perlunya Disampaikan
Selanjutnya Janedjri mengungkapkan perlunya yurisprudensi MK disampaikan kepada masyarakat. Alasannya, karena putusan Mahkamah yang sudah dikeluarkan ke depan menjadi rujukan bagi Mahkamah dalam memutuskan perkara-perkara berikutnya.
“Oleh karenanya, yurisprudensi Mahkamah ini perlu disampaikan, diketahui, dipahami oleh Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu. Mudah-mudahan dengan materi ini, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah mempunyai pengetahuan pemahaman tentang putusan-putusan Mahkamah yang pernah dikeluarkan sejak 2003 sampai dengan putusan terakhir,” ujar Janedjri kepada para hadirin.
Janedjri melanjutkan, para pakar hukum menafsirkan yurisprudensi sebagai setiap putusan atau serentetan putusan yang kemudian dijadikan rujukan oleh hakim berikutnya dalam memutus perkara tertentu. Ada juga yang menafsirkan yurisprudensi sebagai tafsir yang diberikan oleh pengadilan, tatkala pengadilan menemukan adanya ketidakjelasan, ketidaklengkapan sebuah undang-undang. “Jadi ini merupakan bagian ijtihad seorang hakim,” imbuh Janedjri.
Kalau dilihat dari perspektif hukum Islam, lanjut Janedjri, ada yang menafsirkan yurisprudensi itu sama dengan ijma. Jadi, sebagai kesamaan pendapat para ahli hukum secara bersamaan mengenai masalah yang sama. Pertanyaan berikutnya, mengapa kemudian yurisprudensi memengaruhi hukum pemilu?
“Konstruksi berpikirnya berangkat dari konstruksi normatif MK. Konstruksi normatif ini konstruksi kewenangan MK yang secara normatif diatur, baik melalui UUD maupun diatur secara normatif dalam UU,” papar Janedjri.
Dalam perkembangan pelaksanaan kewenangan konstitusional MK, ternyata Mahkamah banyak melakukan terobosan hukum yang dituangkan dalam putusan-putusan Mahkamah, yang menyebabkan perkembangan hukum pemilu. Janedjri juga mengemukakan beberapa putusan yang termasuk dalam yurisprudensi tersebut yang mempengaruhi hukum Pemilu (Nano Tresna Arfana/mh)