Sesi demi sesi acara “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Partai Golkar” yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi terus berlangsung pada Jumat (6/12) di Gedung Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. Salah satunya adalah kehadiran narasumber Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Aswanto.
Mengawali pertemuan, Aswanto menjelaskan bahwa lembaga-lembaga yang berperan dalam menyelenggarakan Pemilu, terdiri atas KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, Bawaslu, Bawaslu provinsi dan Panwaslu kabupaten/kota, sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD.
Dikatakan Aswanto, penyelenggaraan Pemilu terdiri atas sejumlah tahapan, mulai dari perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan pemilu; pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih; pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu; penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilih; pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dan lainnya.
Namun demikian, ujar Aswanto, ada beberapa tahapan penyelenggaraan Pemilu yang rawan terjadi pelanggaran. “Misalnya saat pemutakhiran data pemilih. Keterlambatan pembentukan panitia pemutakhiran data pemilih berpotensi hasilkan keterlambatan daftar pemilih,” imbuh Aswanto,
Hal lain dan sering terjadi pelanggaran pemilu, lanjut Aswanto, pada masa kampanye Pemilu. Di antaranya, terkait dana kampanye dari penyumbang fiktif dan bantuan pihak asing, politisasi birokrasi, politik uang, kampanye hitam, pemasangan alat peraga yang tidak sesuai dengan ketentuan, dan sebagainya. Kerawanan lainnya, adalah saat masa tenang, sering terjadi praktik politik uang. Sedangkan pada pemungutan maupun penghitungan hasil Pemilu, kerap terjadi manipulasi penghitungan suara, serta mengubah berita acara hasil penghitungan suara.
Lebih lanjut Aswanto menerangkan bahwa sengketa Pemilu yang banyak terjadi di Indonesia. Sengketa pemilu adalah sengketa yang terjadi antara peserta Pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Aswanto juga menjelaskan mengenai pelanggaran dalam Pemilu legislatif, seperti misalnya pelanggaran pidana Pemilu sebagai kejahatan terhadap ketentuan pidana Pemilu. Contoh tindak pidana Pemilu, memberi keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisi daftar pemilih. Ancamannya, pidana kurungan paling lama satu tahun, seperti diatur dalam UU No. 8/2012.
Selain itu, ada juga pelanggaran administratif dalam Pemilu legislatif, yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu. Contoh pelanggaran administratif yaitu tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta Pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, dan lain-lain. (Nano Tresna Arfana/mh)