Berbicara tentang nalar adanya dalam pikiran. Kadang-kadang sulit untuk mendeskripsikan, apakah suatu masalah cukup argumentatif atau tidak. Dalam hal ini untuk membedakan antara nalar politik dan nalar hukum, misalkan nalar politik justru harus diketahui di balik pernyataan. “Orang mencermati, misalnya kasus Century, tidak akan sekadar membaca apa yang ada di media massa, pasti dicari hal di balik berita,” kata pakar hukum tata negara M. Ali Safaat dalam acara “Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Partai Golkar”, Jumat (6/12) di Cisarua, Bogor.
Berbeda dengan nalar di bidang hukum, lanjut Safaat, pasti akan dilihat apa yang disampaikan. Di peradilan misalnya, pasti akan dilihat dari apa yang disampaikan secara nyata, yang dikemukakan dalam peradilan. Kemudian juga, ada perbedaan mengenai ukuran nalar bidang politik dengan nalar hukum. Nalar di bidang politik, sesuatu logis atau tidak logis ditentukan oleh seberapa besar kekuatan di balik orang yang menyampaikan pendapat itu.
“Tapi kalau di bidang hukum, yang dimaksud dengan bernalar secara logis, apakah nalar itu bisa diterima atau tidak di akal pikiran, terlepas dari apakah nalar itu didukung oleh orang banyak. Kasus seorang dokter yang ramai dibicarakan belakangan ini, kalau hakimnya menggunakan nalar politik, mungkin hakimnya tidak akan memutus untuk dipidana. Namun kalau hakimnya menggunakan nalar hukum, maka dia akan mempidanakan dokter itu,” papar Safaat yang memaparkan makalah berjudul “Penalaran Hukum” dalam acara ini.
“Walaupun nalar politik dan nalar hukum berbeda, tetapi dalam praktik seringkali bersinggungan. Adakalanya nalar politik berpengaruh terhadap nalar hukum, sebaliknya nalar hukum juga memengaruhi nalar politik,” tambah Safaat.
Termasuk juga dalam forum pengambilan keputusan, juga ada perbedaan antara nalar politik dan nalar hukum. Kalau pengambilan keputusan dalam forum politik banyak ditentukan lobi serta kekuatan dari pihak yang melakukan lobi. Sedangkan dalam forum pengambilan keputusan hukum, terutama di peradilan, tidak berdasarkan kekuatan lobi tetapi berdasarkan kekuatan argumentasi.
Setelah membandingkan berbagai hal dan perbedaan antara nalar politik dengan nalar hukum, maka Safaat menyimpulkan pengertian penalaran hukum sebagai proses psikologis yang dilakukan untuk sampai pada keputusan atas kasus yang dihadapi.
Dijelaskan Safaat, penalaran hukum memang ada dalam pikiran, kadang-kadang sulit untuk mengungkapkan. Biasanya lebih mudah ditangkap pada saat praktiknya, misalnya lebih mudah memahami materi permohonan terhadap suatu kasus di peradilan.
“Secara sempit, yang dimaksud dengan penalaran hukum adalah argumentasi yang melandasi suatu putusan atau logika dari suatu putusan, mengapa suatu kasus diputuskan begini, mengapa tidak begitu dan sebagainya,” kata Safaat.
“Pengertian sempit mengenai penalaran hukum juga dapat diartikan sebagai hubungan antara pertimbangan atau alasan dan keputusan, ketepatan alasan atau pertimbangan yang mendukung putusan,” tandas Safaat. (Nano Tresna Arfana/mh)