“Dalam menangani perkara, tidak ada teman, tidak ada saudara, jika salah ya salah.” Demikian penegasan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva dalam materinya yang berjudul “Penyelesaian Sengketa Pemilu dalam Mewujudkan Pemilu Yang Fair dan Berkeadilan” kepada ribuan kader dan pengurus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) kesatu Partai Nasdem, Jakarta (2/12/2013).
Menurutnya, hal demikian merupakan makna independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Membahas soal demokrasi dan Pemilu, Hamdan menjelaskan bahwa Pemilu merupakan salah satu elemen penting pelaksanaan demokrasi di mana rakyat memilih siapa yang akan menjalankan tugas-tugas kekuasaan negara.
Hamdan juga mengatakan jika pelaksanaan Pemilu berjalan baik, lancar, dan damai sesuai dengan rambu-rambu aturan dan etika, tentu hasil Pemilu itu baik. Demikian pula sebaliknya, jika Pemilu berjalan kacau maka menunjukkan demokrasi kita belum berjalan baik. Dikatakan oleh mantan anggota Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), peraturan juga memengaruhi pelaksanaan Pemilu, sebab peraturan yang jelek juga akan menghasilkan Pemilu yang jelek pula. “Pemilu adalah perebutan kekuasaan, tanpa aturan hukum akan mengakibatkan saling memangsa satu sama lainnya,” ujar pria kelahiran Bima tersebut.
Lebih lanjut Hamdan menyatakan, jika sengketa dalam proses pelaksanaan Pemilu selesai oleh pengawas Pemilu, maka tidak perlu semuanya menumpuk di MK seperti yang terjadi pada saat ini. Diungkapkan olehnya, pada saat ini sekitar 80 persen dari seluruh pelaksanaan Pemilukada berakhir di MK. Menurutnya peraturan perundang-undangan yang ada saat ini sudah bagus, di mana banyak ketentuan yang mengatur perselisihan diselesaikan pada saat pelaksanaan proses Pemilu. Namun karena Pemilu menyangkut perebutan kekuasaan, maka selalu ada yang berusaha mendapatkan kekuasaan itu dengan cara-cara curang.
Dengan keadaan tersebut, Hamdan mengatakan bahwa MK saat ini menjadi palang pintu terakhir dalam menjaga Pemilu yang adil. Namun menurutnya, titik krusial Pemilu ada pada penyelenggara Pemilu, partai politik, dan pemilih yang cerdas, meski untuk mewujudkan pemilih yang cerdas agak sulit karena tergantung dari tingkat pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. (Ilham/mh)