Merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan sengketa Pemilukada, beberapa mahasiswa ajukan pengujian UU Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman pada Senin (2/12). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 97/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai Pemohon I, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (BEM FH UEU) sebagai Pemohon II, Joko Widarto sebagai Pemohon III, dan Achmad Saifudin Firdaus sebagai Pemohon IV.
Dalam pokok permohonannya, Para Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 236C UU Pemda menyatakan “Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sementara itu, Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman menjelaskan “salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar”.
Pemohon yang diwakili oleh Joko Widarto mengungkapkan dirinya merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya penambahan kewenangan kepada MK untuk mengadili sengketa pemilihan kepala daerah. Pemohon menilai kewenangan tersebut mengalihkan tugas pokok Mahkamah sebagai penjaga konstitusi. Dalam permohonan dijelaskan bahwa pelaksanaan kedua ketentuan tersebut telah bertentangan dengan konstitusi, yaitu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku dalam sebuah norma hukum.
“Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena hanya membatasi ruang lingkup kewenangan Mahkamah sebatas penanganan pemilihan umum saja dan sengketa yang dimaksud ketentuan a quo tidak termasuk. Kedua pasal tersebut juga menurut Para Pemohon juga tidak sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 karena tidak mengatur dan memberikan kewajiban kepada norma yang lebih rendah untuk memberikan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada pada Mahkamah Konstitusi,” ujar Joko di hadapan sidang panel yang dipimpin oleh hakim Konstitusi Patrialis Akbar.
Untuk itulah, Para Pemohon meminta agar kedua pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menanggapi permohonan Pemohon, majelis hakim yang juga terdiri dari Wakil Ketua MK Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman meminta agar Pemohon memperbaiki permohonan. Arief Hidayat meminta agar Pemohon merenungkan kembali permohonannya jika kedua pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional. “Jika pasal tersebut dihilangkan, maka kewenangan sengketa hasil pemilukada akan ditangani siapa? Dulu di MA kan diberikan ke MK, dan sekarang diminta dihapus. Lalu dimana nanti akan diselesaikan?” Tanyanya.
Sementara Patrialis Akbar meminta agar pemohon memperbaiki kedudukan hukum pemohon. “Dijelaskan kerugian apa yang dialami,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)