Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Itulah bunyi Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut harus dipatuhi dan ditegakkan demi terwujudnya lembaga peradilan yang dihormati dan berwibawa.
“Hakim tidak boleh terpengaruh pro-kontra yang terjadi di masyarakat,” tegas M. Ali Safaat saat menjadi narasumber dalam Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang digelar oleh MK pada, Senin (2/12) pagi, bertempat di Graha Konstitusi 3, Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Cisarua, Bogor.
Bahkan menurut Ali Safaat, independensi dan imparsialitas lembaga peradilan tidak hanya sebatas bebas dari intervensi lembaga lain dan pandangan publik. “Lembaga peradilan, dalam hal ini hakimnya, tidak boleh terpengaruh dengan materi atau popularitas,” ungkapnya. Jadi menurutnya, tidak boleh ada sedikitpun pikiran tentang karir atau masa depan dalam benak seorang hakim saat akan memutus suatu perkara.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman, kata Ali, adalah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar. “Tidak bisa dihindari, ditiadakan, atau dikurangi,” ujar salah satu staf pengajar di Universitas Brawijaya ini. “Jika tidak merdeka, maka putusannya akan berbau tidak adil dan melanggar hukum.”
Menurut Ali, kemerdekaan lembaga peradilan merupakan sebuah norma bukan teori. “Norma itu tetap valid, tetap benar, meskipun tidak diterapkan,” ungkapnya kepada salah satu peserta yang mengajukan pertanyaan kepadanya.
Dia mengibaratkan, setiap hakim itu seperti institusi yang berdiri sendiri dalam suatu majelis. Oleh karenanya, kemerdekaan hakim dalam memutus tidak boleh diganggu oleh pihak luar maupun dalam, yakni antar sesama hakim. “Masing-masing hakim membuat legal opinion sendiri-sendiri kemudian dibahas bersama. Tidak boleh ada lobi-melobi antar hakim,” imbuhnya. (Dodi/mh)