Tidak maksimal dan optimalnya pelaksanaan pemilihan umum di negari ini, mungkin disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor tersebut adalah peraturan atau lebih tepatnya dengan undang-undang tentang Pemilu yang selalu berubah. Faktanya, setiap akan dilaksanakan Pemilu maka dilakukan pula pengesahan undang-undang tentang Pemilu yang baru.
Hal itu, menurut Guru Besar Universitas Hasanuddin Aswanto, sedikit banyak memang pada akhirnya memengaruhi kualitas pelaksanaan Pemilu itu sendiri. “Tidak perlulah diubah tiap tahun,” ungkapnya menyarankan. Bahkan menurutnya, beberapa ketentuan malah memperumit situasi, alih-alih menyederhanakan proses penyelenggaraan Pemilu.
Demikian hal itu diungkapkan oleh Aswanto kepada para peserta Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang digelar oleh MK pada, Minggu (1/12) siang, bertempat di Graha Konstitusi 3 Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Cisarua, Bogor. Pada kesempatan tersebut Aswanto didapuk untuk memberikan materi tentang “Penyelenggaraan, Perselisihan Hasil, dan Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Legislatif”.
Dalam paparannya, Aswanto memnyampaikan tentang perkembangan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan Pemilu 2014. Menurutnya, dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu Legislatif) terdapat 11 tahapan penyelenggaraan Pemilu. Mulai dari perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan Pemilu hingga pengucapan sumpah/janji anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Berdasarkan pada pelaksanaan Pemilu selama ini, ia menengarai, terdapat potensi pelanggaran pada beberapa tahapan. “Beberapa tahapan yang dianggap rawan terjadinya pelanggaran yakni pada saat pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, masa kampanye, masa tenang, serta pemungutan dan penghitungan hasil Pemilu,” ungkapnya.
Pada masa kampanye, kata Aswanto, cukup banyak variasi pelanggaran yang terjadi, antara lain terkait dana kampanye yang bisa berupa penyumbangan fiktif, memecah sumbangan, sumbangan dari pihak asing, dan tidak menyerahkan laporan dana kampanye; politisasi PNS/TNI/Polri; money politics, penyalahgunaan fasilitas negara; dan black campaign.
Adapun pelanggaran-pelanggaran dalam Pemilu legislatif, menurut Dekan Fakultas Hukum Unhas ini, dapat dibagi menjadi empat jenis, yakni pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu, pelanggaran pidana Pemilu, pelanggaran administrasi Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu. Pada prinsipnya, pelanggaran-pelanggaran ini telah memiliki mekanisme penyelesaian masing-masing. Di mana pelanggaran dapat diselesaikan melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta jajarannya, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Konstitusi. (Dodi/mh)