Pengetahuan dan pemahaman tentang perkembangan hukum pemilihan umum (Pemilu) dalam yurisprudensi Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah keniscayaan, terutama bagi para pihak yang memiliki kepentingan dalam penyelesaian perkara perselisihan hasil Pemilu di MK. Salah satu yang sangat membutuhkan akan hal ini adalah peserta Pemilu Legislatif 2014, yakni partai politik. Jika para pihak mengikuti perkembangan hukum Pemilu dalam yurisprudensi MK dengan baik, maka harapannya para pihak akan lebih komprehensif dan kuat dalam menyusun argumentasi saat bersidang di MK.
Setidaknya, menurut Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar, perkembangan hukum Pemilu dalam yurisprudensi MK dapat ditemui dalam putusan pengujian undang-undang (PUU) ataupun dalam putusan perselisihan hasil Pemilu (PHPU), termasuk di dalamnya terkait penanganan perkara Pemilu kepala daerah.
Hal tersebut disampaikan oleh Janedjri dalam acara Bimbingan Teknis Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Minggu (1/12) malam, bertempat di Graha Konstitusi 3, Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Cisarua, Bogor. Pada kesempatan itu, ia menyampaikan materi berjudul “Perkembangan Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.”
Beberapa putusan PUU yang memengaruhi peraturan Pemilu, menurut Janedjri, antara lain terkait penggunaan KTP dan paspor, hak pilih eks PKI, syarat domisili calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, syarat parpol peserta Pemilu, dan penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Di samping itu, ia juga berpandangan, pada beberapa putusan perkara PHPU, terdapat pula unsur pengujian undang-undang di dalamnya. Di mana terdapat beberapa putusan yang berangkat dari perkara konkrit dalam penanganan perkara PHPU yang kemudian memengaruhi atau malah merubah norma positif. “Putusan PHPU yang bersifat pseudo judicial review,” jelas Janedjri.
Putusan-putusan PHPU yang memengaruhi prinsip-prinsip hukum Pemilu, sambung Janedjri, diantaranya adalah terkait masuknya pelanggaran prinsip konstitusional Pemilu sebagai bagian dari objek perkara perselisihan hasil Pemilu; pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif sebagai alasan pemungutan suara ulang; pelanggaran asas jujur ataupun pelanggaran disertai teror dan ancaman fisik dapat berakibat pada diskualifikasi calon; diberikannya legal standing kepada bakal calon demi melindungi hak untuk maju sebagai calon (rights to be candidate); serta disahkannya pemungutan suara berdasarkan hukum adat, seperti noken di Papua.
Janedjri berpandangan, putusan-putusan MK tersebut lahir dan dilandasi oleh hukum yang bersifat progresif. Hukum progresif merupakan cara berhukum yang berorientasi pada keadilan substantif, sehingga tidak hanya terpaku pada keadilan prosedural saja.
Pada dasarnya, perkembangan hukum Pemilu melalui yurisprudensi putusan MK tersebut mengandung beberapa prinsip, yakni prinsip keadilan substantif mengenyampingkan keadilan prosedural, prinsip perlindungan hak konstitusional warga negara, prinsip non-diskriminasi, prinsip kebenaran materiil mengatasi kebenaran formil, prinsip keputusan dalam proses demokrasi dapat dibatalkan pengadilan. “Dan prinsip memerhatikan perkembangan masyarakat,” tegas Janedjri. (Dodi/mh)