Secara fisik Indonesia menganut model konstitusi yang terkodifikasi (terhimpun/tertulis), tapi Indonesia juga mempraktikkan konstitusi tidak terkodifikasi dengan menerima praktik ketatanegaraan sebagai kebiasaan ketatanegaraan. Demikian dikemukakan oleh pakar hukum tata negara Saldi Isra, Selasa (26/11/2013), kepada kader dan pengurus Partai Keadilan Sejahtera. Saldi mengisi materi Konstitusi dan Konstitusionalisme di hari kedua Bimbingan Teknis Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 di Gedung Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Konstitusi (MK), Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Menurut Saldi, kebiasaan ketatanegaraan yang dikenal sebagai konvensi ketatanegaraan itu tidak boleh menyimpang dari konstitusi yang ada dan sifatnya hanya mengisi kekosongan hukum yang belum diatur dalam hukum tertulis dan sifatnya memperkaya hukum.
Dijelaskan oleh guru besar hukum tata negara Universitas Andalas Sumatra Barat tersebut bahwa konstitusi memuat tiga hal, yaitu lembaga negara apa saja yang dibutuhkan negara itu, hubungan satu lembaga negara dengan lembaga negara lain, dan bagaimana hubungan negara dalam konteks pemerintah dengan warga negaranya. Konstitusi harus ditempatkan sebagi produk hukum tertinggi dalam konteks hubungan bernegara. Kalau para penyelenggara mau membuat aturan yang lebih rendah dari konstitusi, secara substansial dan prosedural tidak boleh aturan tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Walau dalam praktik sering terjadi penyimpangan-penyimpangan, maka dalam negara yang menerapkan prinsip negara hukum biasanya memiliki Mahkamah Konstitusi untuk mengawal konstitusi.
Membahas mengenai konstitusionalisme, Saldi mengutip pernyataan alm. Soetandyo Wignyosubroto yang mengatakan konstitusionalisme mirip kotak hitam pesawat. Jika terjadi peristiwa penting dan dibutuhkan informasi dasar sebagai rujukan atas peristiwa itu, maka kita harus membuka kotak hitam tersebut. Dengan kata lain konstitusionalisme adalah faham yang menempatkan konstitusi sebagai rujukan utama.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, meski dalam konstitusi telah mengatur pembatasan-pembatasan, namun tetap saja tetap dilanggar, seperti adanya ambang batas minimal kursi di parlemen sebesar 20 persen atau minimal 25 persen dari suara nasional. Saldi berpendapat, Undang-Undang Dasar (UUD) tidak mengatur syarat tersebut, tapi kemudian ketentuan itu dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga muncul syarat ambang batas minimal bagi partai politik yang mengusulkan calon presiden.
Melihat pada amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan pada 1999-2002, Saldi menilai bangsa ini selalu melakukan perubahan ketika sedang marah. Menurutnya dalam melakukan perubahan konstitusi memang harus dilakukan dalam keadaan tenang. (Ilham/mh)