Prinsip universal yang penting dalam pelaksanaan Pemilu, yaitu prinsip bebas dan jujur. Maka kalau ada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip pemilu yang diatur dalam konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa Pemilu. Demikian antara lain disampaikan Ketua MK Hamdan Zoelva saat membuka acara Bimbingan Teknis Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Senin (25/11/2013), di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Lebih lanjut Hamdan menjelaskan, Undang-Undang Dasar 1945 telah menempatkan prinsip-prinsip penting dalam pemilihan umum sebagai pelaksanaan demokrasi. Prinsip tersebut yaitu pelaskanaan pemilu yang dilakukan secara periodik lima tahun sekali, serta dilakukan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Selain itu, UUD 1945 juga menetapkan bahwa pemilu dilaksanakan oleh komisi pemilihan umum yang nasional, tetap dan mandiri untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden.
Menyinggung kaitan antara pelaksanaan pemilu dengan negara demokrasi, Hamdan mengungkapkan, setelah perubahan UUD 1945, negara kita mengalami perubahan-perubahan paradigma yang sangat besar terutama dalam pelaksanaan demokrasi. Menurut Hamdan, Indonesia telah mengalami berbagai pasang surut kehidupan demokrasi, mulai dari yang disebut dengan demokrasi terpimpin pada era Orde Lama hingga demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru. “Kedua demokrasi itu adalah demokrasi dalam arti formal,” ujar mantan anggota Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) itu.
Dijelaskan oleh Hamdan, pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto di era Orde Baru, pelaksanaan demokrasi pada saat itu yang penting adalah telah diselenggarakan Pemilu setiap lima tahun sekali. Namun, hasil pemilu selalu dianggap benar dan tidak dapat diganggu gugat. “Sehingga pada saat itu, demokrasi kita betul-betul sebatas demokrasi formal,” tegasnya.
Berbeda dengan kondisi tersebut, menurutnya, pada saat ini pelaksanaan demokrasi sudah mengalami perubahan kepada arah lebih baik. Pada masa pascareformasi saat ini, pelaksanaan demokrasi lebih berorientasi pada substansi di mana seseorang yang sudah duduk dalam lembaga eksekutif atau lembaga perwakilan sebagai wakil rakyat, dia dapat dikontrol. Hal ini dikenal dengan demokrasi pastisipatif. “Ada pertanggungjawaban yang harus dilakukan. Termasuk dalam membuat kebijakan harus memperhatikan suara rakyat,” kata Hamdan.
Sengketa pemilu
Terbukanya peluang menggugat hasil pemilu pada masa kini, pada gilirannya membutuhkan instrumen yang dapat menjadi medai penyelesaian sengketa pemilu tersebut. Di sinilah para perumus perubahan UUD 1945 menempatkan MK yang diberikan kewenangan sebagai “wasit” dalam penyelenggaraan pemilu.
Sepanjang pelaksanaan kewenangan sebagai pengadil sengketa pemilu, Hamdan menjelaskan secara prinsip ada dua sengketa yang ditangani MK, yakni sengketa proses dan sengketa hasil pemilu. Dirinya menilai, secara teoritik seluruh sengketa yang muncul dalam proses dan tahapan pemilu dapat diselesaikan secara baik. Setiap sengketa mulai dari tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa/kelurahan, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota, hingga penetapan hasil pada KPU pusat, apabila terjadi perselisihan antara peserta dengan penyelenggara ataupun antarsesama peserta, secara prinsip harus dapat diselesaikan, meski ujung semuanya jika tidak terselesaikan nanti berada di MK.
Meskipun begitu, Hamdan menilai, jika seluruh sengketa dapat diselesaikan di setiap tingkatan dan proses pemilu berjalan baik pada tingkat TPS hingga KPU, seharusnya tidak perlu lagi banyak perkara yang musti diselesaikan MK. “Kenyataannya banyak yang tidak terselesaikan dalam proses, karena kita harus menyadari betul indenpendensi pelaksana dan pengawas pemilu yang belum bisa dijamin,” jelasnya. Hamdan juga menambahkan, sepanjang pelaksanaan kewenangan MK dalam mengadili sengketa pemilu, sengketa proses pemilu terjadi lebih banyak dari pada sengketa hasil Pemilu, yaitu sengketa terkait kesalahan penghitungan suara yang terjadi setelah proses berjalan.
Hamdan berharap melalu bimbingan teknis yang diperuntukkan bagi partai politik maka kader-kader dan pengurus partai politik dapat menyiapkan diri lebih awal jika ada sengketa pemilu di MK. Acara ini, jelas Hamdan, merupakan kegiatan rutin yang dilakukan MK menjelang pelaksanaan Pemilu untuk kesiapan untuk dapat berperkara di MK dengan maksimal dan efektif.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Bidang Hukum PKS Jazuli Juwaini mengapresiasi program bimbingan teknis yang diselenggarakan oleh MK. Anggota Komisi II DPR yang salah satunya membidangi pemilu ini mengatakan kontestasi pemilu tidak menutup bagi siapapun untuk melakukan cara-cara curang dalam meraih kemenangan. Oleh karena itu dirinya meminta kepada seluruh kader dan pengurus PKS yang hadir dalam kesempatan tersebut dapat memahami dengan baik dan benar bagaimana beracara di MK meski tidak memiliki latar belakang hukum.
Kegiatan bimtek ini akan diselenggarakan selama tiga hari dan membahas berbagai hal teknis dan substansial dalam penyelesaian sengketa pemilu. (Ilham/mh)