Lahirnya Mahkamah Konstitusi dilatarbelakangi reformasi politik di Indonesia pada 1998. Ketika itu terjadi perubahan paradigma terhadap kekuasaan eksekutif yang sangat dominan. Bahkan saat itu lembaga legislatif bisa dikatakan mengalami kelumpuhan, karena peran eksekutif yang begitu dominan.
“Peran legislatif saat itu, dalam hal ini DPR, hanya menjadi ‘tukang stempel’ karena selalu menyetujui apa yang dibuat lembaga eksekutif,” kata Peneliti MK Bisariyadi yang didampingi moderator, Lisda Syamsu Mardiyan, Dosen Hukum Tata Negara Universitas Pancasila saat mahasiswa FH Universitas Pancasila kunjungi MK.
Pasca reformasi politik 1998, dimulailah mekanisme checks and balances dalam pembagian kekuasaan lembaga negara di Indonesia. Ada keseimbangan pembagian kekuasaan, tidak hanya terletak pada lembaga eksekutif. “Jadi ada kekuasaan lembaga lain yang mengimbangi, yaitu legislatif dan yudikatif,” ucap Bisariyadi.
Tuntutan reformasi politik 1998 juga menghendaki perubahan UUD 1945. Di antaranya menyoroti pasal yang menyebutkan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang tidak dibatasi hanya dua periode. Juga mengenai peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Tahun 1999-2002, dilakukanlah amandemen UUD 194. Hasilnya, antara lain membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden hanya dua periode serta kedudukan MPR bukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai lembaga tinggi negara.
Setahun kemudian, barulah dibentuklah MK pada 13 Agustus 2003 yang memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan pertama dan yang utama dari MKRI adalah menguji UU terhadap UUD. Tugas ini biasa disebut dengan judicial review.
Kewenangan MK berikutnya, adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, pernah terjadi sengketa antara DPR, BPK dengan Pemerintah. Kemudian juga, MK berwenang memutus pembubaran partai politik.
Selain itu, lanjut Bisariyadi, MK berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, termasuk di dalamnya pemilihan umum kepala daerah atau pemilukada. Terkait pemilukada inilah yang banyak sekali kasus sengketa pemilukada disidangkan di MK.
Selanjutnya, yang menjadi kewajiban MKRI adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana lainnya.
“Dari empat kewenangan dan satu kewajiban MKRI tersebut, kewenangan membubarkan partai politik dan kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum, belum pernah digunakan MKRI,” tandas Bisariyadi. (Nano Tresna Arfana/mh)