Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menerima kunjungan dari Adji Bachrul Hadie sebagai Pemangku Adat Kerajaan Gunung Tabur, Berau, Kalimantan Timur, Kamis (21/11) siang.
Pada kesempatan itu Adji Bachrul Hadie menyampaikan hal terkait tanah adat ulayat Kerajaan Gunung Tabur yang selama ini kurang mendapat perhatian Pemerintah Berau. “Tanah adat ulayat ini sebagai aset kerajaan, milik nenek moyang kami. Namun orang dari luar Berau justru yang memanfaatkan tanah adat ulayat kami untuk lahan usaha, ” ungkap Adji saat dipersilakan Hamdan di ruang kerjanya, lantai 15 Gedung MK.
“Sedangkan kami, sampai saat ini belum pernah diberi kesempatan maupun izin untuk melakukan usaha, baik untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan lainnya,” tambah Adji dengan beberapa pendampingnya, Adji Hadi Ningrat, Suyanto dan Arif Gigih Rudito.
Kedatangan rombongan dari Kerajaan Gunung Tabur, menurut Adji bukanlah semacam pengaduan kepada MK. Lebih dari itu, kunjungan mereka adalah untuk meminta pengakuan pemerintah setempat mengenai keberadaan tanah adat ulayat Kerajaan Gunung Tabur di Berau.
Oleh karena itu, mereka meminta pihak berwenang menganalisis dokumen-dokumen yang dimiliki Kerajaan Gunung Tabur terkait tanah adat ulayat. Dokumen-dokumen merupakan pembuktian bahwa mereka mempunyai dasar-dasar bukti tertulis yang dimiliki sejak Kerajaan Gunung Tabur berdiri sebelum Indonesia merdeka, bahkan sebelum Kabupaten Berau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Namun yang mengherankan, sampai rakyat Indonesia merdeka, kurang mendapat pengakuan dari Pemda Berau terhadap hak tanah adat ulayat Kerajaan Gunung Tabur. Lebih dari itu, pengakuan terhadap keberadaan tanah adat ulayat Kerajaan Gunung Tabur bertujuan menyejahterakan masyarakat di sana.
Menanggapi hal-hal yang disampaikan delegasi dari Kerajaan Gunung Tabur, Hamdan Zoelva mengatakan, MK dalam beberapa putusannya memberikan pengakuan yang jelas bahwa negara harus menghormati hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat. Namun MK tidak bisa menjangkau ke bawah. Misalnya, tidak bisa langsung memerintahkan kepada bupati untuk melakukan suatu hal.
“Sebenarnya di berbagai daerah, ada kewenangan di DPRD dan pemerintah daerah yang menentukan ada tidaknya suatu masyarakat hukum adat dan ada tidaknya kekayaan yang dimilikinya. Saya tidak tahu di Kabupaten Berau, apakah sudah ada penetapan masyarakat hukum adat oleh peraturan daerah,” tandas Hamdan. (Nano Tresna Arfana/mh)