”Pengacara juga harus ikut memikirkan citra dan wibawa Mahkamah Konstitusi (MK).” Demikian ditegaskan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva, dalam acara pertemuan dan dialog MK dengan Pengacara, yang berlangsung di Aula MK, Senin (18/11/2013).
Hamdan mengungkapkan, pengacara merupakan bagian dari peradilan MK, corps of the court, maka kegiatan dialog ini dilakukan agar mendapatkan masukan dalam memulihkan citra dan wibawa MK. Mantan anggota Panitia Ad Hoc I Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini juga meminta kepada para pengacara yang sering beracara di MK untuk melapor jika ada informasi bahwa seseorang mengajak atau meminta bertemu hakim konstitusi untuk membahas perkara. Hal ini penting agar MK dapat melakukan pengusutan terhadap persoalan tersebut. Lebih lanjut Hamdan mengungkapkan dirinya mendapatkan banyak informasi ada seseorang yang menunjukkan draf putusan kepada pihak yang berperkara, beberapa saat sebelum putusan MK dikeluarkan.
Dikatakan Hamdan, pengacara seharusnya juga dapat membedakan diri dengan pengamat, sebagai bagian dari penerapan kode etik pengacara. Karena pengacara terikat dengan kode etik. Hamdan menilai bagaimana mungkin seorang pengacara berperkara di MK, sementara dia mengatakan di media bahwa hakim konstitusi berperilaku buruk. Oleh karena itu, Hamdan mengharapkan kepada seluruh pihak termasuk masyarakat untuk tidak melakukan penghinaan terhadap pengadilan.
Hamdan mengakui memang belum ada aturan yang lengkap mengenai contempt of the court (penghinaan terhadap pengadilan), namun demikian di negara lain ada empat hal yang termasuk penghinaan terhadap pengadilan yaitu mengabaikan perintah pengadilan, memperlihatkan ketidakhormatan pada hakim, menunjukkan suatu tindakan yang tidak patut dalam persidangan, dan mempublikasikan sesuatu yang dapat meruntuhkan keadilan dalam pengadilan.
Dalam kesempatan tersebut Hamdan juga menyampaikan permintaan maaf atas ketidaknyamanan pengunjung MK akibat diberlakukannya sistem keamanan yang baru. Menurutnya, setelah peristiwa tertangkapnya Akil Mochtar oleh KPK, MK sudah berencana untuk menerapkan sistem keamanan tersebut untuk menjaga wibawa dan citra MK. Namun penerapan sistem pengamanan itu dipercepat karena adanya peristiwa terakhir yang terjadi di MK, yaitu ketidaktertiban pengunjung yang hadir dalam persidangan di MK, Kamis, 14 November 2013 lalu.
Dalam sesi dialog, Harry Yusuf Amir mengatakan MK menjanjikan peradilan yang fair dan membuat pintar. Menurutnya dalam sidang-sidang MK, pengacara diajak untuk pintar, siapa yang bekerja dan berpikir maka dia yang menang. “Pasca kasus Akil, hakim-hakim seperti kehilangan semangat, itu tidak boleh lama-lama terjadi agar tidak berpengaruh pada putusan,” ujar Harry. Lebih lanjut Harry mengatakan, munculnya perkara-perkara di MK karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) tidak dipercaya.
Hal senada juga diungkapkan Ahmad Wakil Kamal, menurutnya kerja MK akan lebih ringan jika KPU dan Panwaslu kredibel dalam menjalankan tugasnya. Menurut Wakil Kamal, putusan MK memang ada yang kontroversial, namun menurutnya jangan sampai ada pikiran-pikiran di luar konstitusi yang berbeda dengan putusan MK.
Di lain pihak, Munarman berpendapat acara dialog seperti ini sebaiknya tidak boleh terlalu sering diadakan, karena nanti menjadi tempat curhat para pengacara. Munarman menilai masalah keamanan yang terjadi di MK adalah persoalan yang sifatnya teknis. Dirinya memberikan saran agar polisi non seragam dinas untuk ditempatkan lebih banyak di ruang sidang, sehingga siapa pun yang berbuat rusuh dapat segera ditangkap.
Sementara salah satu pengacara yang hadir dalam acara tersebut, Iwan Gunawan, menilai MK tetap kredibel. Iwan menilai manajemen MK masih yang terbaik diterpa dengan kasus Akil Mochtar dan pelanggaran tata tertib sidang oleh pengunjung sidang. Menurutnya, kecurigaan masyarakat muncul karena menyamakan MK dengan lembaga peradilan lainnya, namun Iwan menyatakan seharusnya publik bersyukur dengan kasus yang terjadi pada mantan Ketua MK, karena dengan peristiwa itu MK kembali bersih. Ditambahkan Iwan, sudah semestinya MK dijadikan contoh oleh pengadilan lainnya. Lebih lanjut dirinya menilai seandainya sengketa pemilukada dikembalikan kembali ke pengadilan umum, maka yang terjadi adalah kerusuhan massal, karena dekatnya massa pendukung dengan pengadilan tempat penyelesaian sengketa pemilukada.
Kritik datang dari Saleh, pengacara yang kerap beracara dalam sidang sengketa pemilukada maupun pengujian Undang-Undang (MK) di MK. Menurutnya MK terkesan terburu-buru oleh waktu dalam memutus perkara, hal ini yang membuat dirinya tidak sepenuhnya bangga berperkara di MK, meski dalam sidang pengujian UU dirinya tetap merasakan kebanggan beracara di MK.
Terhadap pendapat-pendapat yang muncul dalam dialog tersebut, Ketua MK Hamdan Zoelva menegaskan UU membatasi MK untuk memeriksa memutus dan mengadili sengketa pemilukada dalam waktu 14 hari. Meski terbatas oleh waktu, Hamdan menyatakan MK tidak mengabaikan substansi perkara yang diajukan para pihak. Hamdan mengungkapkan, hakim konstitusi berusaha menjaga independensinya dengan menghindarai perkara-perkara pemilukada daerah asalnya, serta perkara-perkara yang diajukan oleh kolega hakim yang bersangkutan, dan partai politik yang dulu memiliki kaitan dengan hakim konstitusi. (Ilham/mh)