Mahkamah Konstitusi menolak uji materiil yang diajukan oleh M. Farhat Abbas dan Narliswandi Piliang (Iwan Piliang). Hal ini tertuang dalam Putusan Nomor 49/PUU-XI/2013 perihal pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diucapkan oleh delapan hakim konstitusi dengan dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva, Kamis (14/11) siang, di Ruang Sidang Pleno MK. “Dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan hukum,” tegas Hamdan.
Dalam hal ini Para Pemohon menguji Pasal 21 ayat (5) UU KPK. Pasal ini berbunyi, ”Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.” Yang dimaksud dengan “bekerja secara kolektif”, yaitu setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK.
Hakim Konstitusi Arief hidayat menyatakan, dengan kewenangan KPK untuk mengkoordinasi dan mensupervisi instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, maka posisi KPK sangat penting dan strategis. Bahkan dalam melakukan supervisi atas pemberantasan korupsi, KPK dapat mengambil alih penanganan korupsi yang sedang dilakukan oleh instansi lain agar lebih efektif.
Di samping itu, dalam melaksanakan kewenangannya, KPK diberikan wewenang untuk melakukan penyadapan atau merekam pembicaraan dan tidak boleh mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas suatu perkara yang sedang disidik. Kesemua kewenangan tersebut, di samping kewenangan lain yang diatur dalam UU KPK, ujar Arief, menunjukkan adanya kewenangan khusus dan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi.
Dengan kewenangan sangat besar itu harus diimbangi pengambilan keputusan pimpinan KPK secara kolektif. “Kewenangan besar tersebut harus diimbangi dengan kehati-hatian sehingga tidak disalahgunakan. Dari pertimbangan itulah, menurut Mahkamah cukup beralasan bahwa UU KPK yang menentukan pimpinan KPK mengambil keputusan secara kolektif kolegial karena hal itu, antara lain, untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan dalam mengambil tindakan yang luar biasa,” Arief menguraikan.
Hal tersebut, sambung Arief, juga dimaksudkan agar KPK bertindak ekstra hati-hati dalam mengambil keputusan hukum dalam pemberantasan korupsi, karena jika tidak demikian, atau hanya diberikan kewenangan kepada seorang ketua atau dengan keputusan mayoritas anggota pimpinan, akan dikhawatirkan adanya kesalahan dan kekeliruan atau penyalahgunaan KPK oleh kekuatan politik lain di luar KPK.
“Kasus-kasus tertentu yang ditangani oleh KPK, menurut Mahkamah, yang dalam pengambilan keputusannya harus disetujui oleh seluruh pimpinan KPK [vide Pasal 21 ayat (5) UU KPK] merupakan kebijakan dari pembentuk Undang-Undang yang bersifat terbuka (opened legal policy). Mahkamah menilai bahwa kewenangan yang kolektif kolegial tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, melainkan justru kepemimpinan kolektif kolegial adalah demi kepastian hukum serta menghindari kekeliruan dan kesalahan dalam melaksanakan kewenangannya,” ungkap Arief.
Sebelumnya, menurut para Pemohon, ketentuan yang merumuskan bahwa keputusan harus diambil berdasarkan kolektif kolegial mengandung kelemahan. Hal tersebut dapat terlihat dalam proses pembongkaran kasus proyek Hambalang. Dari lima pimpinan KPK, ada satu pimpinan yang belum sepakat untuk menaikkan status kasus tersebut ke tingkat penyidikan dengan alasan diperlukan satu gelar perkara lagi, sehingga kurang efektif dan dapat menghambat kreatifitas dan inovasi seorang Ketua KPK untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi yang juga merupakan cita-cita para Pemohon. Oleh karenanya, Pemohon menilai Pasal 21 ayat (5) UU KPK tidak mengandung kepastian hukum. (Dodi/mh)