Sebelas lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan Pengujian Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Sidang perdana perkara yang antara lain dimohonkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) ini digelar MK pada Kamis (7/11).
Beni Dikty Sinaga selaku kuasa hukum Para Pemohon menyampaikan bahwa Para Pemohon merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 59 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Menurut Para Pemohon, frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, Para Pemohon beranggapan hak sewa dapat diartikan petani menjadi petani penggarap yang membayar sewa kepada negara itu merupakan ketentuan yang melanggar prinsip dari hak menguasai negara. Seharusnya, negara tidak memiliki tanah garapan tersebut namun negara seharusnya hanya merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan.
“Bahwa pembatasan hak atas tanah petani yang diperoleh melalui redistribusi tanah, berdasarkan hak sewa dan izin merupakan bentuk dari tidak adanya upaya negara melakukan redistribusi tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan di atas, pemberlakuan Pasal 59 undang-undang a quo, sepanjang frasa ‘hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan’ bertentangan dengan prinsip atau konsep Hak Menguasai Negara (HMN, red) dan tidak ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, Pasal 59 UU a quo bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” jelas Sinaga.
Pasal 59 UU a quo berbunyi sebagai berikut.
Pasal 59
Kemudahan bagi Petani untuk memperoleh lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan
Selain itu, Para Pemohon juga beranggapan bahwa Pasal 59 UU a quo sepanjang frasa yang sama bertentangan dengan Pasal 28d ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Para Pemohon berargumen bahwa Pasal 44 dan Pasal 45 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur hak pakai yang mempunyai hak sifat-sifat khusus disebut tersendiri. Hak sewa sejatinya hanya disediakan untuk bangunan-bangunan, sedangkan hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara.
“Negara tidak dapat menyewakan tanah karena negara bukan pemilik tanah. Bahwa sudah seharusnya Undang-Undang Pokok Agraria memperkuat hak atas tanah petani, petani diberikan hak memilih, minimalnya hak pakai yang tanpa melibatkan hubungan sewa-menyewa. Bahwa berdasarkan hal tersebut, jelas pemberlakuan Pasal 59 Undang-Undang a quo sepanjang frasa ‘hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan’ adalah sesuatu yang bertentangan dengan prinsip pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Agraria sehingga berpotensi besar menimbulkan ketidakpastian hukumyang dengan sendirinya merupakan pengingkaran terhadap Pasal 28d ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,” tukas Sinaga. (Yusti Nurul Agustin/mh)