Permohonan pengujian Pasal 163 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diajukan dua orang pekerja/buruh PT. ABB Transmission & Distribution, Dununung Wijanarko dan Wawan Adi Dwi Yanto ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Demikian Putusan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva yang memimpin sidang pengucapan putusan, Kamis (31/10/2013).
Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon berbunyi, “Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).”
Para Pemohon dalam permohonannya menguji pasal dalam UU Ketenagakerjaan tersebut dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan." Serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Adapun ayat (2) menyatakan, "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
Mahkamah menilai frasa “tiap-tiap warga negara” yang berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan frasa “setiap orang” yang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah tidak hanya mereka yang disebut sebagai pekerja/buruh saja, tetapi termasuk juga pengusaha. Oleh karenanya, hak untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, bagi pekerja/buruh dan pengusaha.
Selain itu Mahkamah berpendapat bahwa UU Ketenagakerjaan tersebut disusun untuk mewujudkan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha tersebut, dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.
Menurut Mahkamah, perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dapat terjadi dalam kondisi apa pun, baik ketika perusahaan tersebut sedang mengalami keuntungan, atau sebaliknya, perusahaan sedang mengalami kerugian. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, kata “dapat” dalam Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan tersebut, merupakan norma yang berfungsi untuk melindungi hak-hak pengusaha untuk tetap dapat menjalankan usahanya guna memenuhi hak atas pekerjaan, penghidupan yang layak, dan imbalan atas usaha yang dijalankan oleh pengusaha tersebut dan termasuk pula demi perkembangan kemajuan dunia usaha.
Mahkamah menilai, selaku pemilik dari suatu bidang usaha yang dijalankannya, pengusaha pada dasarnya memiliki otoritas untuk membuat aturan atau bentuk kebijakan lainnya yang serupa yang bertujuan untuk memastikan keberlangsungan usahanya yang tentu tidak terlepas dari tujuan berupa memperoleh keuntungan.
Dengan pertimbangan tersebut Mahkamah menyatakan menolak permohonan Para Pemohon. (Ilham/mh)