Direktur Utama dan pemegang saham PT. Metro Mini Jakarta menggugat Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa siang (20/10), di Ruang Pleno MK.
Tanpa didampingi kuasa hukumnya, Pemohon menjelaskan kepada majelis hakim konstitusi bahwa hak konstitusionalnya dilanggar dengan adanya pasal 86 ayat (9) UU PT (9) UU PT yang menyatakan ,“RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.”
Pemohon menjelaskan telah melaksanakan putusan dari Mahkamah Agung (MA) yang memberi izin kepada Pemohon untuk melaksankan Rapat Umum Pemegang Saham – Luar Biasa (RUPS-LB) PT. Metro Mini tetapi tidak memenuhi kuorum sebagaimana yang telah ditentukan dalam UU PT hingga dua kali, di mana rapat tersebut hanya dihadiri tidak lebih dari 2/3 dari jumlah anggota pemegang saham.
Pemohon juga telah melakukan RUPS yang ketiga dan telah memenuhi kuorum dan hasil dari RUPS tersebut dituangkan dalam akta pernyataan keputusan rapat PT. Metro Mini Nomor 09 tanggal 22 mei 2012. Namun ketika didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM, ternyata akses tentang RUPS tersebut tidak dapat dilakukan karena terblokir. “Kami mengajukan hasil RUPS tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak bisa diterima, dikarenakan adanya pemblokiran terhadap akses tentang RUPS yang dilakukan oleh pihak yang terkait,” ujar Nofrialdi.
Nofrialdi menegaskan, dengan adanya pemblokiran tersebut menyebabkan pengesahan RUPS yang diselenggarakan tersebut tidak dapat disahkan karena ketentuan Pasal 86 ayat (9) UU PT yang membatasi waktu pelaksanaan RUPS kedua dan ketiga, yaitu dalam jangka waktu paling lambat sepuluh (10) hari dan 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilaksanakan.
Oleh karena itu, Pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Pasal 86 ayat (9) UU PT inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Usai mendengarkan keterangan Permohonan Pemohon, majelis hakim konstitusi memberikan nasihat kepada Pemohon agar memperbaiki permohonannya sesuai dengan format beracara di MK. Selain itu, Pemohon harus bisa menjelaskan kedudukan hukum atau legal standing Pemohon dengan lebih detail dan sempurna, serta menjelaskan apa saja hak – hak konstitusional Pemohon yang dirugikan atau dilanggar dengan adanya Pasal 86 ayat (9) UU PT tersebut. (Panji Erawan/mh)