Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN (UU APBN) diajukan untuk diujikan secara materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (28/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 83/PUU-XI/2013 ini dimohonkan oleh para korban yang memiliki badan usaha terdampak lumpur Sidoarjo yang berada di luar Wilayah Peta Area Terdampak (PAT).
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh Mursyid Mudiantoro selaku kuasa hukum, menjelaskan Pemohon merasa keberatan dengan Pasal 9 ayat (1) huruf a UU APBN. Pemohon menganggap pasal tersebut merugikan hak konstitusional terhadap Pemohon. Pasal 9 ayat (1) huruf a UU APBN menyatakan bahwa “Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2013, dapat digunakan untuk: (a) pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan) dan sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi)”.
“Pasal 9 ayat (1) huruf a UU APBN, telah menimbulkan perbedaan perlakuan hukum antara para Pemohon dengan warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah PAT, baik dari sisi perlindungan hukum, kepastian hukum, kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia yang sama, guna mencapai persamaan dan keadilan,” ujarnya.
Menurut Mursyid, rumusan daerah yang masuk di Peta Area Terdampak berasal dari usulan PT Lapindo Brantas Inc yang memiliki tujuan untuk memberikan kepastian hukum atas siapa yang bertanggung jawab atas wilayah yang terkena dampak langsung dan tak langsung dari semburan dan luapan lumpur. Namun PT. Lapindo Brantas Inc mengalihkan kepada PT. Minarak Lapindo Jaya sebagai subjek hukum yang melakukan proses ganti rugi tanah dan bangunan di wilayah PAT dengan menggunakan model Perjanjian ikatan Jual beli (PIJB). Akan tetapi, sistem ini hanya berlaku bagi penduduk yang bertempat tinggal, bukan penduduk yang memiliki tempat usaha di PAT seperti Pemohon.
“Seharusnya pembayaran dilakukan dengan menggunakan sistem pembayaran PBIJ. Akan tetapi, ketentuan ini diperuntukkan hanya penduduk asli (penduduk yang bertempat tinggal), sementara untuk Pemohon, hal tersebut tidak diatur. Kemudian, dalam penentuan atas nilai harga yang disepakati terdapat perbedaan nilai harga tanah dan bangunan. Hal ini merugikan Pemohon,” paparnya.
Untuk itulah, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Pasal 9 ayat (1) huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. “Serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak menyertakan dan memasukan Wilayah Peta Area Terdampak (PAT) yang terdiri dari Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Ketapang dan Renokenongo dalam rangka untuk untuk penyelesaian pembayaran dan pelunasan tanah dan bangunan akibat bencana lumpur Sidoarjo,” terangnya.
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan. Maria menjelaskan Pemohon untuk mengkonstruksikan kembali alasan permohonan. “Yang dimohonkan Para Pemohon adalah implementasi mengenai UU APBN yang tidak selesai sehingga merugikan Para Pemohon. Alasan permohonan Pemohon mengenai kerugian yang diakibatkan oleh Pasal 9 ayat (1) huruf a UU APBN harus dikaitkan dengan UUD 1945,” sarannya.
Pemohon diberikan waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonannya. Sidang selanjutnya akan digelar dengan agenda perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)