Hakim Konstitusi Anwar Usman menerima kunjungan para mahasiswa dan peserta olimpiade ilmu sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Senin (28/10) di lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kesempatan itu, Anwar menjelaskan berbagai hal terkait konstitusi, termasuk juga peran MK maupun kewenangan dan kewajiban dari MK.
“Keberadaan MK tidak bisa dilepaskan dengan lahirnya reformasi. Sebagaimana kita ketahui, reformasi merupakan buah perjuangan mahasiswa yang menyebabkan lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998,” ungkap Anwar kepada para mahasiswa.
Dikatakan Anwar, bergulirnya reformasi di Indonesia pada 1998 melahirkan sejumlah tuntutan perubahan di segala lini. Termasuk dalam hal penegakan hukum. Akibatnya, UUD 1945 mau tidak mau mengalami perubahan, diantaranya Pasal 24 yang mengatur kekuasaan kehakiman. Akhirnya, berdasarkan perubahan Pasal 24 UUD 1945 setelah diamandemen, maka Pasal 24 UUD 1945 berbunyi antara lain “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
“Pasal 24 UUD 1945 menjadi cikal bakal lahirnya Mahkamah Konstitusi,” kata Anwar. Dibandingkan dengan Pasal 24 UUD 1945 sebelum diamandemen, yang belum ada ayat yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman.
Lebih lanjut Anwar menerangkan soal kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang lahir pada 13 Agustus 2003. “Kewenangan MK memang sangat luas dan sangat besar. Hingga belum lama ini ‘badai’ menerpa MK sehingga Presiden pun mengeluarkan Perppu yang menimbulkan pro kontra,” ucap Anwar.
Anwar menjelaskan, kewenangan pertama MK adalah menguji UU terhadap UUD, bahwa setiap UU bisa dibatalkan kalau bertentangan dengan UUD, misalnya dilihat dari pasal, ayat, atau frasa dari sebuah UU. Kewenangan kedua MK adalah memutus sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, sengketa antara Presiden dengan DPR, atau dengan BPK maupun lembaga negara lainnya.
“Kewenangan ketiga MK adalah memutus pembubaran partai politik. Jadi yang berwenang partai politik apa pun adalah MK. Kewenangan keempat MK adalah memutus perselisihan hasil Pemilihan umum DPR, DPRD, termasuk Pemilu Presiden,” imbuh Anwar.
“Termasuk kewenangan tambahan MK yang memutus perkara perselisihan hasil pemilu kepala daerah yang diatur dalam UU,” tambah Anwar.
Sedangkan kewajiban MK adalah memutus atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD. Jadi kalau DPR menganggap bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran atas beberapa larangan yang diatur dalam UUD maupun peraturan lainnya, maka yang memutus adalah MK.
“Jadi DPR harus mengajukan ke MK dulu, apakah pendapat DPR itu benar atau tidak, bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran atau perbuatan tercela,” tandas Anwar. (Nano Tresna Arfana/mh)