Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang sengketa pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Kamis, (24/10/2013). Perkara ini diajukan oleh para bakal pasangan calon, yaitu Saul Essarue Elokpere-Alfius Tabuni (perkara 148/PHPU.D-XI/2013), Otomi Gwijangge-Bonefasius Hubi (perkara 149/PHPU.D-XI/2013), Yulianus Entama-Petrus Haluk (perkara 150/PHPU.D-XI/2013), dan Paskalis Kosay-Oilek Lokobal (perkara 151/PHPU.D-XI/2013).
Sidang yang dipimpin Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva kali ini mengagendakan mendengarkan jawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Jayawijaya sebagai Termohon, mendengarkan keterangan Pihak Terkait, pasangan calon Jhon Wempi Wetipo-Jhon Richard Banua sebagai petahana Bupati-Wakil Bupati Jayawijaya.
KPU Kabupaten Jayawijaya yang diwakili kuasa hukumnya Budi Setyanto menjelaskan, bahwa secara prinsip KPU Jayawijaya sebagai Termohon dalam 4 (empat) perkara itu menolak dalil-dalil yang diajukan Para Pemohon. Budi juga menilai Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum karena telah menggunakan hak konstitusionalnya dengan mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang putusannya telah dilaksanakan oleh KPU.
Lebih lanjut Budi berargumen, menurut ketentuan Pasal 3 ayat (1) Peraturan MK 15/2008 dinyatakan bahwa yang dapat menjadi para pihak dalam Sengketa Pemilukada di MK adalah pasangan calon dan KPU, sementara Budi menilai Para Pemohon bukanlah pasangan calon karena belum ditetapkan sebagai pasangan calon.
Lebih lanjut Budi Setyanto menegaskan, KPU Kabupaten Jayawijaya tidak pernah mempermainkan putusan peradilan dan berupaya menghalang-halangi Pemohon sebagai pasangan calon, bahkan pihaknya telah melakukan verifikasi ulang sesuai putusan putusan PTUN, dan hasilnya Para Pemohon tidak diterima sebagai pasangan calon karena memang tidak memenuhi syarat dukungan partai politik.
Terkait putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu pada 10 Otober 2013 berdasar laporan Para Pemohon pada 15 Agustus 2013 yang dalam putusannya menyatakan memerintahkan KPU Provinsi Papua untuk memberhentikan secara tetap seluruh komisioner KPU Jayawijaya, Budi mengungkapkan bahwa putusan tersebut belum dapat dilaksanakan karena hingga saat ini KPU Papua belum mengeluarkan Surat Keputusan pemberhentian komisoner KPU Jayawijaya.
Sementara Pihak Terkait dalam perkara ini, pasangan Jhon Wempi Wetipo-Jhon Richard Banua, melalui kuasa hukumnya Petrus Ell menyatakan bahwa Pihak Terkait sebagai bupati terpilih pada 2008 lalu yang menjabat hingga 2013, sejak pelantikan pada 23 September 2008 sudah berencana untuk mendapat dan menjaga dukungan partai agar dapat maju pada Pemilukada Kabupaten Jayawijaya tahun 2013 ini. “Maka tidak heran jika dalam pemilu 2013 ini Pihak Terkait didukung 26 partai,” ujar Petrus Ell. Lebih lanjut diungkapkan oleh Petrus, Pemohon juga mengikuti proses verifikasi ulang yang dilakukan oleh KPU Kabupaten Jayawijaya menyusul jatuhnya putusan PTUN Jayapura yang memerintahkan pada KPU Jayawijaya untuk melakukan verifikasi ulang. Sementara terhadap persoalan ijazah palsu yang didalilkan oleh Pemohon, Petrus mempertanyakan dari mana asal-usul persoalan tersebut hingga muncul di MK.
Usai mendengarkan jawaban KPU Kabupaten Jayawijaya dan tanggapan Pihak Terkait, majelis hakim konstitusi meneruskan sidang dengan mendengarkan keterangan Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata negara yang diajukan bakal pasangan calon Paskalis Kosay-Oilek Lokobal, Pemohon dalam perkara nomor 151/PHPU.D-XI/2013.
Menurut Yusril, Undang-Undang Dasar (UUD) memberikan amanat kepada KPU sebagai lembaga yang independen dan tidak memihak dalam pelaksanaan demokrasi. Namun Yusril menilai dalam kenyataannya KPU sering bersikap tidak independen dalam melaksanakan tugasnya, hal tersebut terlihat dalam beberapa putusan PTUN, Putusan MK dan DKPP terhadap pelaksana Pemilukada.
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu melihat Pemohon memang tidak berkedudukan sebagai peserta Pemilukada, karena statusnya sebagai bakal pasangan calon yang ditolak oleh KPU Kabupaten Jayawijaya. Namun Yusril mengingatkan, dalam beberapa putusan MK terdapat satu keputusan bakal pasangan calon dalam Pemilukada dapat diterima sebagai Pemohon atau dapat diterima memiliki kedudukan hukum jika alasan-alasan yang cukup untuk itu dan terdapat fakta-fakta adanya upaya penghalangan oleh KPU.
“Kalau pelanggaran yang dilakukan oleh komisioner termasuk pelanggaran berat maka DKPP dapat memutus memberhentikan komisioner tersebut,” tegas Yusril. Namun menurutnya, dalam kenyataannya putusan DKPP itu tidak dilaksanakan oleh KPU yang setingkat di atasnya. Oleh karena DKPP tidak memiliki kewenangan administratif dan hanya pada persoalan etik, sehingga dalam kasus putusan DKPP ada persoalan etik dan persoalan hukum. Yusril berpendapat, semestinya jika sudah ada putusan DKPP, maka KPU setingkat diatasnya segera mengambil keputusan agar tidak terjadi konflik norma hukum dan norma etik.
Sementara beberapa saksi yang diajiukan pemohon, yaitu Apolos Hessegem dan Iwan Tulla menjelaskan dukungan partai politik kepada Pemohon adalah yang sah, namun dukungan itu ditolak oleh KPU Kabupaten Jayawijaya. (Ilham/mh)