Sekitar 100 (seratus) orang mahasiswa Program Diploma III Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Jawa Tengah, mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (9/10/2013) dan diterima oleh Pustakawan MK Hanindyo serta peneliti MK Fajar Laksono Suroso.
Dalam penjelasannya, Hanindyo mengungkapkan kehadiran Perpustakaan MK hadir bersamaan dengan berdirinya MK untuk memberi dukungan kepada peneliti MK dan hakim konstitusi. Perpustakaan MK juga memiliki fungsi untuk memberikan masukan literatur yang tepat terhadap perkara yang sedang diuji.
Pria yang akrab disapa Hanin itu menjelaskan, koleksi buku yang dimiliki Perpustakaan MK berasal pembelian berdasar pengadaan barang MK, pemberian dari hakim konstitusi yang masih aktif, serta pemberian dari mantan hakim konstitusi. Untuk mempromosikan Perpustakaan MK kepada masyarakat, Hanin mengungkapkan dalam setahun Perpustakaan MK mengikuti sejumlah pameran di berbagai kegiatan.
Selanjutnya dalam rangka mengembangkan Perpustakaan MK, 5 orang pustakawan MK secara kontinyu diikutkan dalam program pendidikan, pelatihan, serta seminar-seminar. Selain itu, saat ini perpustakaan MK juga sedang mengembangkan pembuatan sistem perpustakaan berbasis web dan penggunaan Radio Frequency Identity (RFId), dan hingga saat ini perpustakaan MK memiliki koleksi 20.000 (dua puluh ribu) koleksi e-book (buku elektronik), dan koleksi 80.000 (delapan puluh ribu) judul buku.
Sementara dalam pemaparannya, Fajar Laksono Suroso menjelaskan kewenangan MK yang berbeda dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut Fajar, MK merupakan peradilan konstitusional yang hanya menangani perkara ketatanegaraan, sementara MA menangani perkara kongkret dan dapat menghukum seseorang. “MK sendiri memiliki 9 orang hakim yang dipilih oleh Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MA," ujar Fajar. Namun ketiga lembaga negara tersebut hanya sebatas memilih hakim konstitusi, hal ini untuk menjaga independensi dan kemandirian para hakim konstitusi. Menurut Fajar, meski dalam undang-undang disebutkan pemilihan hakim dilakukan secara terbuka dan partisipatif, namun hal tersebut tidak sepenuhnya berjalan.
Lebih lanjut, Fajar juga mengungkapkan sistem persidangan MK yang didesain untuk menjaga proses persidangan MK yang terbuka dengan membuat sistem e-perisalah. Selain sistem perekaman sidang, MK juga menyediakan fasilitas video conference yang ditempatkan pada 39 fakultas hukum di perguruan tinggi di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Usaha ini dilakukan karena MK tidak memiliki cabang di daerah, sehingga siapapun msyarakat di daerah yang mengikuti persidangan MK dapat menggunakan fasilitas tersebut tanpa harus datang ke ibu kota. Tapi sayang pada praktiknya fasilitas tersebut menjadi kurang optimal, terutama dalam sidang sengketa pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada), karena para pihak yang beracara di MK lebih senang datang ke Jakarta. Di samping untuk jalannya persidangan, fasilitas video conference tersebut juga sering digunakan untuk kuliah umum.
Selain fasilitas tersebut, Fajar juga mengungkapkan fasilitas MK lainnya yakni disediakannya salinan putusan MK beberapa saat setelah putusan diucapkan, hal ini untuk meminimalisir permainan perkara di MK. Baik salinan putusan maupun risalah sidang dapat diakses oleh siapapun yang memerlukan termasuk bagi mahasiswa atapun akademisi yang ingin mendapatkannya untuk keperluan akademik.
Menyikapi perkembangan terakhir yang menimpa MK, yaitu tertangkapnya Ketua MK non-aktif M Akil Mochtar, Fajar menegaskan, itu adalah perkara pribadi dan jangan dicampur adukkan dengan MK sebagai lembaga, karena sistem yang ada saat ini tetap dapat menjaga pegawai MK terbebas dari praktik korupsi dan kolusi. Menurutnya, pelayanan yang terbaik yang dilakukan pegawai MK merupakan rutinitas sehari-hari, dan bukan sebagai sesuatu yang luar biasa. (Ilham/mh)