Pemerintah tetap menganggap negara berhak untuk terlibat dalam pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan, yang termasuk dalam kekayaan BUMN. Menghadirkan mantan Sekjen Kemenkeu, Mulia P Nasution sebagai ahli, pemerintah berpandangan bahwa kewenangan BPK dalam mengaudit keuangan BUMN telah sejalan dengan amanat konstitusi. Hal itu merupakan kewajiban dan hak mutlak yang dimiliki negara.
Menurutnya, aspek bisnis yang dijalankan oleh BUMN tidak serta merta menjauhkannya dari kewajiban untuk tetap mengedepankan kepentingan masyarakat umum. Keterlibatan negara dalam pengelolaan BUMN dilakukan melalui penempatan komisaris-komisaris pada perusahaan BUMN. “Campur tangan pemerintah bisa dilakukan melalui komisaris-komisaris, namun tetap memberi kebebasan bagi BUMN untuk mengelola keuangannya. Tidak jadi soal sepanjang kita bisa menerapkan hukum-hukum publik,” ujar Mulia membacakan keterangan resminya.
Senada dengan itu, mantan hakim konstitusi, Maruarar Siahaan menuturkan, kekhawatiran terjadinya intervensi yang berlebihan dari pemerintah dalam pengelolaan keuangan BUMN, merupakan hal yang tidak tepat. “Filosofi negara mengatur negara tetap berhak ikut serta dalam pengawasan terhadap keuangan BUMN,” tukas Maruarar.
Ketidapastian Hukum
Dilain pihak, Pusat Kajian Strategis Univ. Indonesia dan Forum BUMN selaku Pemohon tetap menuntut agar keuangan BUMN bukan dianggap sebagai kekayaan negara, karena konsep ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi kalangan pejabat BUMN.
“Kami potensial terkriminalisasi dengan adanya UU ini. Setiap kebijakan dan langkah bisnis yang merugikan Negara dapat dianggap sebagai tindak pidana korupsi. Padahal setiap bisnis memiliki resiko,” tukas Hotasi Nababan, mantan Dirut Merpati yang menjadi korban langsung UU Keuangan Negara. Ia sempat dituduh korupsi karena salah langkah dalam mengambil keputusan bisnis.
Dijadwalkan, KPK akan dihadirkan pada sidang lanjutan yang akan dibuka pada Selasa, 8 Oktober 2013 mendatang. (Julie/mh)