Frasa “patut diduga” sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) telah menimbulkan diskriminasi dan berpotensi merugikan hak konstitusinal warga negara. Sebab, rumusan tersebut mengandung duplikasi dengan Pasal 5 UU PTPK.
Adanya duplikasi tersebut, ujar Pakar Hukum Pidana Chairul Huda, menunjukkan kriminalisasi yang berlebihan. Padahal, sepanjang pengetahuan dia, beberapa negara di dunia telah menghapus rumusan-rumusan yang mengandung duplikasi dalam hukum pidananya. “Di banyak negara dilakukan decriminalisation dengan alasan overcriminalization. Khususnya pada rumusan yang terjadi duplikasi,” ungkapnya dalam Sidang Perkara Nomor 75/PUU-XI/2013 yang menguji Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Rabu, (2/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh terpidana korupsi Zulkarnaen Djabar.
Selain itu, dengan adanya duplikasi tersebut, menurut Chairul Huda, akan semakin membuka peluang untuk terjadinya tawar menawar dalam penerapan pasal tersebut. Di mana kalau terdakwa kooperatif, maka digunakan pasal yang ancamannya lebih ringan, namun jika tidak, maka diterapkan pidana lebih berat. “Akibat adanya duplikasi pengaturan, mengakibatkan jual beli pasal itu menjadi mungkin,” tegasnya.
“Pasal 5 Ayat (2) dengan Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor adalah suatu bentuk duplikasi. Yang seharusnya bisa di dekriminalisasi dalam konteks kewenangan MK sebagai negatif legislator,” ungkap Chairul Huda.
Keberadaan dua pasal tersebut juga akan menyebabkan adanya diskriminasi dan perlakuan yang berbeda. “Ketentuan Pasal 12 huruf a dan b jika disandingkan dengan Pasal 5 maka menimbulkan kemungkinan adanya perlakuan yang diskriminatif,” terangnya.
“Tidak pernah ada suatu delik, di mana memuat dua unsur kesalahan, yaitu sengaja atau culpa (kealpaan, pen), tetapi ada delik lain yang sama yang memuat ancaman yang berbeda terhadap delik itu ketika dilakukan dengan kesengajaan, atau ketika delik itu dilakukan dengan kealpaan,” urainya. Selain itu, ujarnya, tidak pernah ada suatu kealpaan diancam dengan pidana seumur hidup sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan sebagaimana diuji oleh Pemohon.
Di samping itu, dia juga berpandangan bahwa rumusan Pasal 12 huruf a dan b adalah tidak tepat dan tidak proporsional, sehingga menyebabkan kekacauan. Menurutnya, lahirnya rumusan ini dilatarbelakangi oleh euforia pemberantasan korupsi pada awal-awal masa reformasi. Di mana muncul pandangan, semakin berat hukuman maka akan semakin baik. Padahal, kata dia, pandangan seperti ini sudah lama ditinggalkan dalam pemikiran hukum.
Dalam bahasa yang lain, Pakar Hukum Pidana Mudzakir, menyatakan bahwa rumusan tersebut lahir dalam kondisi masyarakat yang sedang emosional, sehingga mendegradasi pertimbangan-pertimbangan rasional dalam merumuskan ketentuan perundang-undangan, khususnya UU PTPK yang sedang diuji oleh Pemohon ini.
“Dicari filsafatnya gak ketemu, dicari doktrinnya gak ketemu. Ini memunculkan keprihatinan kami sebagai akademisi,” bebernya mengungkapkan lemahnya landasan filosofis dan teoritis dari ketentuan tersebut.
Menurut Mudzakir, rumusan dalam Pasal 12 huruf a dan b UU Tipikor telah menjadikan hukum yang sebenarnya biasa saja, malah ditempatkan menjadi hukum yang luar biasa. “Di mana extraordinary-nya, tidak ada penjelasan ilmiahnya,” pungkasnya.
Di samping kedua ahli tersebut, Pemohon juga menghadirkan pakar hukum lainnya, yakni Andi Hamzah. Dalam kesempatan tersebut, Andi menjelaskan tentang proses pembentukan UU PTPK. Pada intinya ia menyatakan, rumusan Pasal 12 huruf a dan b UU PTPK telah berubah dan tidak sesuai dengan apa yang pernah dirancangnya bersama beberapa para pakar hukum, antara lain Menteri Kehakiman (saat itu) Baharudin Lopa, Natabaya, Adnan Buyung Nasution, dan Abdul Gani Abdullah. “Sebenarnya ancaman pada Pasal 12 itu overdosis semuanya,” ujarnya menyimpulkan. Berdasarkan penerapannya selama ini, menuurt Andi, ancaman pidana dalam Pasal 12 UU PTPK telah menyebabkan ketidakadilan.
Pasal 12 huruf a dan huruf b UU PTPK tersebut berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.” (Dodi/mh)