Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar menerima kunjungan para dosen pengajar Hukum Acara Peradilan Konstitusi, Universitas Andalas (Unand), Padang pada Rabu (2/10) siang. Rombongan para dosen Unand yang dipimpin guru besar FH Unand, Saldi Isra, tersebut dalam rangka kursus singkat tentang peradilan konstitusi di Mahkamah Konstitusi.
Saat mengawali pertemuan, Janedjri menjelaskan sejarah dan latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK). “Terkait dengan kewenangan MK, sebenarnya perlunya MK hadir dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, berawal dari pemikiran bahwa konstitusi harus benar-benar dilaksanakan. Tidak seperti pada masa Orde Baru, konstitusi menjadi kata-kata indah tanpa dilaksanakan. Ketika itu, Panitia ad-hoc I Badan Pekerja MPR yang bertugas mempersiapkan rancangan perubahan UUD 1945, bersepakat memasukkan tugas menguji UU terhadap UUD,” urai Janedjri.
Janedjri melanjutkan, terjadi pembicaraan mengenai tugas atau kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD. “Apakah kewenangan ini diberikan kepada MA atau diberikan kepada MPR. Alternatif ketiga, kewenangan ini dilaksanakan oleh sebuah lembaga negara yang terpisah dari MPR atau MA. Perdebatannya sampai mengundang MA, meminta pendapat MA, apakah bersedia ditambah kewenangannya untuk menguji UU terhadap UUD,” jelas Janedjri.
“Bahkan ketika itu ada pemikiran tidak hanya sebatas menguji UU, tetapi juga menguji peraturan perundang-undangan, sesuai dengan hierarkis peraturan perundang-undangan,” tambah Janedjri.
Namun, MA menolak karena tugas MA sudah terlalu berat dan kinerjanya belum sesuai dengan harapan masyarakat. Selanjutnya pada tahun 2000, ada pemikiran bahwa kewenangan menguji UU terhadap UUD diberikan kepada MPR. Setelah disepakati bahwa kewenangan tersebut menjadi tugas lembaga negara yang terpisah, yang berdiri sendiri, muncul pertanyaan, “Beban kerjanya apakah hanya menguji UU terhadap UUD?”
Sering dengan perjalanan waktu, saat dinamika kehidupan politik di Indonesia sangat tinggi, antara lain terjadinya Sidang Istimewa MPR dengan agenda meminta pertanggung jawaban Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Terjadilah persidangan. Kala itu Gus Dur tidak hadir dalam sidang istimewa namun mengirimkan maklumat, hingga dikeluarkan Ketetapan MPR mengenai sikap MPR terhadap maklumat Gus Dur. Intinya, Gus Dur melanggar konstitusi dan diberhentikan dari jabatan Presiden pada Juli 2001.
Pusat Sejarah Konstitusi di MK
Janedjri juga mengungkapkan mengenai pembentukan Pusat Sejarah Konstitusi yang kini sedang dibangun MK. Salah satu manfaatnya untuk mendokumentasikan putusan-putusan MK, yang bersifat land mark decision, sebagai high tech.
“Pusat Sejarah Konstitusi di MK, Insya Allah bisa disaksikan pada awal 2014. Sekarang memang belum terasa manfaatnya. Sehingga nanti ketika MKRI berusia 50 tahun, 100 tahun, anak cucu kita bisa mencari tahu apa saja yang diputuskan MK,” kata Janedjri.
Lebih lanjut Janedjri menerangkan mengenai latar belakang kewenangan MK memutus pembubaran partai politik dan sengketa kewenangan antara lembaga negara. Kewenangan membubarkan parpol juga dilatar belakangi maklumat yang dikeluarkan Gus Dur, bahwa parpol tidak serta merta dapat dibubarkan dan harus melalui prosedur yang jelas. Demikian pula kewenangan memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara.
“Dalam memutus sengketa antara lembaga negara ada aturannya. Lembaga negara yang bersengketa adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan UUD 1945,” ucap Janedjri.
Hal lainnya, Janedjri memaparkan penting e-perisalah atau court recording system yang diterapkan MKRI saat ini. Melalui e-perisalah, proses dokumentasi menjadi lebih mudah, mampu mengubah percakapan yang terjadi di ruang sidang ke dalam bentuk tulisan. Pemanfaatan e-perisalah di MK mulai digunakan sejak Desember 2010.
Setelah mengikuti ceramah tersebut, para dosen peradilan konstitusi Unand berkesempatan mengikuti persidangan MK secara langsung di ruang sidang pleno MK. (Nano Tresna Arfana/mh)