Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (UU Perkoperasian) lebih mengedepankan mengenai modalitas dan badan hukum koperasi dibanding dengan aspirasi anggotanya. Hal ini bertentangan dengan filosofi koperasi yang berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan dari anggotanya. Hal ini disampaikan oleh saksi Pemohon Robby Tulus dalam pengujian UU Perkoperasian yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (1/10). Sidang lanjutan perkara dengan Nomor 60/PUU-XI/2013 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva.
“Padahal aspirasi anggota bukan hanya sekadar dari sisi ekonomi, tapi juga sosial dan budaya yang tidak hanya bisa dilayani dengan instrumen modal, tapi juga instrument pendidikan dan pelayanan yang berkelanjutan,” ujar Robby di Ruang Sidang Pleno MK.
Sedangkan mengenai pengawasan, Robby memberikan saran agar Pemerintah membentuk lembaga eksternal di luar koperasi untuk melakukan pengawasan terhadap koperasi. Pemilihan lembaga eksternal ini, lanjut Robby, untuk menghindari adanya konflik internal dalam tubuh koperasi. “Pengawasan seharusnya dilakukan oleh lembaga eksternal yang khusus dibentuk untuk melakukan audit sosial dan audit keuangan,” urainya.
Sementara itu, Pemerintah menghadirkan tiga orang ahli, yakni Pramudia Arifin, Suwandi dan Rully Indrawan. Dalam keterangannya, Pramudia Arifin menjelaskan mengenai pentingnya kehadiran Dekopin. Menurut Pramudia, keberadaan Dekopin diperlukan untuk mengembangkan nilai koperasi di dalam maupun luar negeri. Dekopin berperan sebagai koordinator untuk menjamin kehidupan perkoperasian di Indonesia. Jadi, munculnya organisasi pelestari koperasi di luar Dekopin, bukanlah masalah. “Munculnya organisasi pelestari di luar Dekopin justru akan memperkuat Dekopin. Dan lahirnya organisasi penggerak demokrasi akan memperkokoh demokrasi ekonomi di dalam bentuk sistem perkoperasian,” jelasnya.
Pemohon terdiri dari Yayasan Bina Desa Sadajiwa, Koperasi Karya Insani, Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Asosiasi Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW), Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Koperasi (LePPek), serta beberapa Pemohon perseorangan berkeberatan dengan beberapa pasal dalam UU Perkoperasian. Menurut Pemohon, definisi koperasi menurut UU Perkoperasian yang menempatkan koperasi hanya sebagai “badan hukum” dan/atau sebagai subjek secara nyata bertentangan dengan cita-cita ideologi bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Pendefinisian koperasi tersebut berakibat pada “korporatisasi Koperasi”, yakni munculnya perusahaan yang mengaku sebagai koperasi yang berstatus badan hukum koperasi, namun tidak memiliki jati diri koperasi dan tidak melakukan prinsip-prinsip koperasi dan hanya melakukan urusan bisnis semata.
Sementara mengenai modal penyertaan, maka anggota-anggota koperasi akan menjadi objek ekspolitasi, menciptakan ketergantungan, hilang prakarsanya dan pada akhirnya mengakibatkan partisipasi yang rendah dari anggota-anggotanya terhadap koperasi. Kemudian, ketentuan mengenai Dewan Koperasi Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1angka 18, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117 dan Pasal 118, dan Pasal 119 UU Perkoperasian adalah telah nyata-nyata menjadikan posisi gerakan koperasi menjadi bagian dari subordinat dari pihak luar dan menghilangkan otonomi dari gerakan koperasi yang seharusnya mendapatkan pengakuan dan perlindungan. (Lulu Anjarsari/mh)