Majelis hakim konstitusi kembali mengingatkan Pemohon bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menambah norma baru dalam undang-undang. Anggota panel hakim konstitusi M. Arsyad Sanusi dan Muhammad Alim dalam persidangan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) pada Kamis (31/7) di gedung MK kepada Pemohon mengatakan, apabila niat Pemohon adalah agar UU Peradilan Agama diperbaiki, hal tersebut lebih tepat disampaikan Pemohon kepada DPR sebagai pembentuk undang-undang.
“Bila Pemohon meminta agar wewenang pengadilan agama ditambah maka lebih tepat (diajukan) ke DPR, bukan ke MK,” kata Muhammad Alim.
Suryani, pemuda lulusan Madrasah Ibtidaiyah asal Serang, Banten, meminta Majelis Hakim Konstitusi membatalkan Pasal 49 Ayat (1) UU Peradilan Agama karena dianggap telah merugikan hak konstitusionalnya untuk beribadah sesuai dengan ajaran agamanya secara kaffah. Ia menganggap pasal yang mengatur kewenangan peradilan agama untuk menyelesaikan perselisihan perdata di antara umat Islam tersebut telah membatasi makna ibadah dalam Islam. Akibat pembatasan tersebut, Suryani merasa terhambat untuk menjadi beriman dan bertakwa secara sempurna.
“Seharusnya, peradilan agama juga mengatur perkara-perkara pidana, bukan hanya perdata,” jelas Suryani saat menyampaikan perbaikan permohonannya kepada Majelis Panel Hakim Konstitusi.
Saat ditanya ketua panel, Hakim Konstitusi Moh. Mahfud MD, mengenai pemaknaan iman dan takwa serta ibadah yang dipahaminya, Suryani mengelak bahwa meskipun ia bukan ahli agama dan tidak memiliki latar belakang pendidikan agama yang tinggi, ia beranggapan bahwa tindakannya mengajukan permohonan pengujian di MK merupakan suatu ijtihad pribadi yang dampaknya akan dapat dirasakan umat Islam Indonesia secara keseluruhan.
Menanggapi hal tersebut, Mahfud MD mengatakan bahwa persoalan yang diperdebatkan dalam perkara pengujian UU Peradilan Agama ini adalah perkara yang besar dan menyangkut bangsa dan negara. Apabila permohonan ini dikabulkan, akan mengakibatkan hilangnya kewenangan peradilan agama seluruhnya.
“Jangan sampai kita yang sama-sama cinta Islam dan negara justru membuang apa yang sudah dimiliki,” ujar Mahfud.
Tanpa Saksi dan Ahli
Pada bagian lain, apabila perkara ini berlanjut pada pemeriksaan pokok permohonan, Suryani sepertinya akan berjuang sendirian. Saat ditanya Majelis Hakim mengenai saksi dan ahli yang akan diajukan untuk mendukung permohonannya dalam persidangan lanajutan, ia mengatakan tidak akan menghadirkan saksi ataupun ahli.
“Saya sudah mengirim surat kepada beberapa orang ahli hukum Islam namun belum ada yang memberikan tanggapan,” akunya. Ia justru berharap agar Majelis Hakim bersedia menghadirkan para ahli.
Mengenai permohonannya, Suryani menegaskan bahwa meskipun telah memperbaiki beberapa hal sesuai nasihat panel hakim pada sidang terdahulu, dirinya tetap menjadikan argumentasi-argumentasi pada permohonan awal sebagai permohonan utama.
Sebelum menutup persidangan yang berjalan singkat tersebut, Ketua Panel Hakim, Moh.Mahfud MD, mengatakan akan menyampaikan permohonan Pemohon kepada rapat permusyawaratan hakim (RPH). “Biar RPH nanti yang akan memutuskan kelanjutan perkara ini,” kata Mahfud.[]ardli