Perjalanan menuju Muara Tae merupakan perjalanan yang cukup panjang. Dari Balikpapan menuju Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, dapat ditempuh lewat jalur darat dalam waktu 11 jam. Masyarakat Muara Tae merupakan masyarakat Dayak Benuaq.
Mata pencarian mereka adalah berladang. Mayoritas mereka bekerja sebagai petani karet dan rotan. Beberapa tahun belakangan ini, mereka harus berjuang untuk mempertahankan hutan adat yang merupakan warisan leluhur mereka. Bukan hanya hutan adat yang mereka pertahankan, tetapi juga mata pencaharian mereka dan budaya yang hampir punah.
Semula hutan adat di Muara Tae luasnya lebih dari 11 hektare. Di hutan itu dulunya banyak ditemukan tanaman obat-obatan, pohon ulin, rotan, meranti, kapas dan sebagainya. Bahkan hewan-hewan buruan seperti babi hutan dan rusa serti berbagai jenis burung hidup di sana.
Namun kini, luas hutan adat masyarakat Muara Tae tinggal 1000 hektare (ha). Areal hutan adat yang hilang ini sudah ditanami oleh kelapa sawit dan tambang batu bara. Saat SH berkunjung ke daerah Melinau, tempat hutan adat masyarakat Muara Tae berada, sepanjang lokasi tersebut yang terlihat hanyalah hamparan pohon-pohon kelapa sawit.
Gersang, itu kesan ketika melewati 20 km perjalanan menuju hutan adat. Dalam perjalanan kami menjumpai bedeng-bedeng dari papan dan terpal. Di sanalah tempat tinggal para pekerja perkebunan kelapa sawit.
Mantan Kepala Desa Muara Tae Masrani mengatakan, masyarakat adat Muara Tae prihatin karena hutan yang merupakan warisan leluhur mereka sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan binatang buruan sudah tidak ada lagi. “Hutan adalah hidup kami sehingga sampai titik darah penghabisan tidak bisa diambil. Wilayah adat adalah warisan leluhur dan sumber hidup kami,” ujarnya.
Menurutnya, untuk mempertahankan hutan adat ini, tidak sedikit tantangan yang mereka hadapi. Tantangan tidak hanya datang dari pihak perkebunan sawit, tetapi juga dari kerabat mereka yang sudah terkena iming-iming dengan gaji yang besar dari pihak perkebunan.
Masrani diberhentikan secara tidak hormat oleh Bupati karena mempertahankan hutan adat yang merupakan warisan leluhurnya. Setiap saat, masyarakat Muara Tae yang mempertahankan hutan adat ini harus berhadapan dengan terror, bahkan konflik dengan masyarakat Ponak.
Konflik lahan di Muara Tae merupakan salah satu dari sekian banyaknya persoalan serupa di seluruh Kaltim. Data Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim menyebutkan, hingga akhir Desember 2011, terdapat 79 kasus perkebunan sawit dan 45 di antaranya konflik antara perusahaan dan masyarakat setempat.
Banyaknya masalah yang timbul ini tak terlepas dari tidak terkendalinya izin perkebunan sawit. Berdasarkan data Disbun Kaltim, hingga akhir 2011, sebanyak 11 pemerintah kabupaten/kota di Kaltim telah mengeluarkan izin lokasi perkebunan kepada 330 perusahaan di lahan seluas 3,708 juta ha. Padahal, realisasi penanaman di kebun sawit masih 810.878 ha.
Rehabilitasi
Masyarakat adat Muara Tae dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mulai melaksanakan Rehabilitasi Hutan Adat Muara Tae. Selain untuk mengembalikan kelestarian hutan, rehabilitasi wilayah adat tersebut juga untuk menyemangati seluruh masyarakat adat di Nusantara agar merehabilitasi wilayah adat masing-masing.
Rehabilitasi hutan adat ini dilakukan dengan menanam kembali bibit-bibit pohon di areal hutan yang sudah hilang. Masyarakat Muara Tae mencoba mengembangkan bibit-bibit ulin, meranti dan sebagainya untuk ditanam kembali di daerah yang sudah ditanami sawit.
Pencanangan Rehabilitasi Hutan Adat Muara Tae terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 35-PUU-X/2012 atas uji materi UU No 41/1999 tentang Kehutanan yang menegakkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi Undang-Undang Kehutanan tersebut adalah pegangan legal bagi Masyarakat Adat untuk melakukan gerakan rehabilitasi wilayah adat masing-masing yang telah mengalami penghancuran.
“Kami mencanangkan gerakan nasional rehabilitasi wilayah-wilayah adat dan dimulai dari Muara Tae. Saya ingin perjuangan masyarakat Muara Tae juga dilakukan masyarakat adat di seluruh Indonesia,” lanjut Abdon.
Ia menegaskan, jika menunggu inisiatif pemerintah untuk merehabilitasi wilayah adat maka masyarakat adat tidak akan pernah mengetahui kapan wilayah-wilayah adat ini akan direhabilitasi,sedangkan proses penghancuran terus berlangsung.
Data analisis terbaru AMAN menunjukkan Indonesia memiliki minimal 55,5 juta kawasan adat dalam hutan. Dengan tidak menyertakan luas areal penggunaan lain (APL), diperkirakan ada sekitar 24,5 juta ha kawasan hutan perlu untuk direhabilitasi. Luas itu mencakup kawasan hutan tanpa tutupan, kawasan hutan terdeforestasi, dan kawasan hutan terdegradasi.
Satu penyebab utama adalah alih fungsi lahan hutan melalui pemberian konsesi kepada perusahaan seperti yang terjadi pada Hutan Adat Muara Tae. Komunitas Dayak Benuaq di Kampung Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Barat, telah bertahun-tahun memperjuangkan wilayah adatnya yang kini tercantum sebagai wilayah konsesi.
Pada 1971, Masyarakat Adat Muara Tae berkonflik dengan perusahaan kayu PT Sumber Mas, pada 1995 dengan perkebunan kelapa sawit PT London Sumatra, dan pada 1996 dengan pertambangan batu bara PT Gunung Bayan Pratama. Kemudian pada 2010 dengan perkebunan kelapa sawit PT Munte Waniq Jaya Perkasa, dan pada 2011 dengan perkebunan kelapa sawit PT Borneo Surya Mining Jaya.
Rehabilitasi wilayah adat Muara Tae adalah kelanjutan pemetaan partisipatif wilayah adat di sana. Dari pemetaan partisipatif yang telah diselesaikan di sana, Masyarakat Adat Muara Tae memiliki wilayah adat seluas 11.471,85 hektare.