“Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, dipimpin seorang Presiden.,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Widyagama Malang, Senin (30/9) di lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pasal 1 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik,” tambah Ahmad Fadlil Sumadi.
Fadlil melanjutkan, meskipun bentuk pemerintah Indonesia adalah republik dan dipimpin seorang Presiden, namun ‘cita rasanya cita rasa kerajaan’.
“Bagi mereka yang lahir tahun 70 atau 80-an akan susah merasakan cita rasa seperti itu,” kata Fadlil.
Lantas apa yang dimaksud dengan ‘negara republik yang bercita rasa kerajaan’? “Misalnya, kalau Presidennya X, pernah terjadi yang jadi bupati adalah keponakannya. Kemudian yang mengisi keanggotaan DPR itu besannya. Lalu yang mewakili utusan daerah, pernah terjadi istrinya,” jelas Fadlil.
Situasi kondisi itu semacam, kata Fadlil, tidak berjalan dalam waktu singkat, namun sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun. Bahwa kerabat, keluarga dekat, memang seringkali dilibatkan untuk menjadi pemimpin di daerah.
Padahal menurut Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 menyebutkan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Pengertian ‘dipilih secara demokratis’ bisa juga melalui pemilihan umum, yang kala itu disebut dengan pilkada.
“Jadi kalau kita melihat sejarah negara republik yang ‘bercita rasa kerajaan’ tadi, pemilihan umum itu menjadi satu pilihan yang dilakukan untuk menghindari terulangnya kejadian ini. Oleh karena itu, makna demokratis diartikan oleh pembentuk UU dengan pemilihan umum,” ucap Fadlil.
Walaupun demikian, ada saja anggapan sebagian pihak bahwa adanya pemilihan umum atau pemilihan umum kepala daerah seringkali memicu konflik, kericuhan dari berbagai pihak akibat adanya pelanggaran, kecurangan dan sebagainya selama berlangsungnya pemilihan umum.
“Itu kan soal orangnya, bukan mekanisme dari pemilihan umum. Yang paling penting adalah mencegah orang-orang yang menempuh jalan-jalan yang tidak bagus,” tegas Fadlil. (Nano Tresna Arfana/mh)