Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah Pemilukada) wajib merujuk pada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang relevan, khususnya terkait dengan Pemilukada. RUU Pemilukada tidak boleh bertentangan dengan Putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Jika undang-undang dibuat tidak selaras atau bertentangan dengan putusan MK, boleh dikatakan, telah terjadi pelanggaran konstitusi atau pembangkangan terhadap konstitusi.
Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar saat menjadi pembicara kunci dalam acara Seminar Nasional bertajuk “Relevansi dan Urgensi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum Kepala Daerah” yang diselenggarakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerta, Sabtu pagi (28/09). Selain merujuk putusan MK, sambung Akil, pembentuk undang-undang juga harus menyusun naskah akademik agar dapat menjelaskan secara memadai kepada publik bahwa undang-undang yang akan dibuat telah memenuhi syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Oleh sebab itu, kata Akil, sekali lagi, Naskah Akademik RUU Pemilukada haruslah benar-benar mantap. Keberadaan naskah akademik yang mantap ini akan sangat penting dan bermanfaat, bukan hanya untuk membangun logika hukum pada saat pembahasan di DPR, melainkan juga menjadi amunisi ampuh untuk menghadapi kemungkinan adanya permohonan uji materi undang-undang di MK, kelak ketika undang-undang diberlakukan.
“Jangan sampai, Naskah Akademis RUU Pemilihan Kepala Daerah hanya untuk memenuhi syarat formal belaka. Seperti praktik selama ini, Naskah Akademik acapkali dibuat hanya untuk mencari dasar pembenaran rumusan norma hukum yang telah lebih dulu dibuat jadi sebelumnya. Praktik demikianlah yang saya kira membuat norma undang-undang tidak dapat dipertahankan pada saat diuji materi di MK. Karena Naskah Akademik yang dibuat kurang serius, maka argumentasi yang mendasari keberadaan suatu norma undang-undang terkesan mengada-ada dan mudah diruntuhkan ketika di-challange di hadapan Undang-Undang Dasar 1945,” tegas Akil.
Persoalan dalam Pemilukada sudah muncul sejak masa persiapan sampai pasca penetapan hasil Pemilukada. Maka dari itu, Akil sepakat apabila aturan main Pemilukada atau pemilihan kepala daerah lebih diperjelas, dilengkapi, dan disempurnakan. UU Pemilukada harus lebih komprehensif, tidak lagi terkonsentrasi untuk mengatur pencalonan, kampanye, pemilihan, dan sengketa saja seperti aturan yang berlaku selama ini, serta bukan hanya mengatur proses terpilihnya seorang kandidat menjadi kepala daerah secara demokratis, melainkan meletakkan Pemilukada sebagai bagian dan instrumen terpenting dari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang efektif.
Karenanya, menurut pandangan tersebut, lanjut Akil, yang harus dipikirkan betul-betul adalah bagaimana mendesain Pemilukada sebagai instrumen demokrasi untuk mewujudkan efektifitas pemerintahan daerah. “Secara singkat, saya ingin mengatakan bahwa seluruh paradigma dan desain pengaturan yang ditawarkan melalui poin-poin dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah haruslah mendapatkan sandaran konstitusional, teoritik, dan praktik yang benar-benar kokoh,” papar mantan anggota DPR di era reformasi ini.
Bukan Kewenangan MK
Di awal ceramahnya, Akil menyampaikan, dalam kapasitasnya sebagai hakim konstitusi, terlebih lagi sebagai Ketua MK, pada dasarnya tidak boleh terlalu jauh ikut membicarakan suatu RUU. Adapun alasannya, bukan kewenangan MK untuk membahas suatu RUU, karena hal tersebut adalah kewenangan pembentuk undang undang adalah DPR dan Pemerintah. “Dan sebagaimana kita ketahui, semua undang undang berpotensi untuk diujikan secara materiill di MK,” jelas Akil.
Akil melanjutkan dalam keterangannya, ketika hakim konstitusi berpendapat tentang suatu RUU, sangat mungkin ia tersandera oleh pendapatnya sendiri manakala suatu RUU yang telah menjadi UU tersebut diuji materi ke MK. Oleh karena itu, Akil dalam paparannya sekedar merangkum wacana mengenai RUU Pemilukada dan mengemukakan secara garis-garis legislasi dari sudut pandang konstitusi dan MK.
Acara seminar nasional ini diikuti oleh Budiman Sudjatmiko, anggota Komisi II DPR RI dan Dekan Fakultas Hukum Unsoed Dr. Angkasa, serta dihadiri oleh seluruh mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed. (Panji Erawan/mh)