Jazuli, Anam Supriyanto, dan Wariaji selaku Pemohon Perkara Pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan menghadirkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, M. Hadi Subhan sebagai ahli pada sidang yang digelar Rabu, (25/9). Hadi menyampaikan bahwa peniadaan pesangon karena PHK dengan alasan buruh ditahan adalah bertentangan dengan asas-asas keadilan. Hadi juga menegaskan, peniadaan pesangon karena PHK sebab buruh mengundurkan diri juga bertentangan dengan keadilan.
Hadi berpendapat demikian karena sejatinya pesangon memiliki arti berupa penghargaan atas diri dedikasi buruh kepada perusahaan, sehingga pesangon yang diberikan perusahaan tidak bisa dikaitkan dengan penyebab pemutusan hubungan kerja (PHK). Hadi mengatakan hal itu karena selama bekerja upah yang diterima oleh buruh tidak sebanding dengan apa yang dikerjakan. “Dalam suatu teori ekonomi bahwa ongkos buruh berkisar antara sepuluh persen dari seluruh ongkos perusahaan secara keseluruhan. Artinya, 1 rupiah yang dibayar oleh pengusaha kepada buruh itu dapat menghasilkan 10 rupiah untuk pengusaha. Ini artinya ada ketidakseimbangan dari prestasi dan tegenprestatie yang di dalam hubungan kerja ini,” jelas Hadi yang aktif dalam membela hak buruh itu.
Hadi juga menggambarkan bahwa sejatinya meski upah buruh sesuai UMR saat ini dalam nominal rupiah tergolong besar, namun bila jumlah rupiah tersebut disubstitusikan dengan barang, beras misalnya, upah buruh terlihat sangat anjlok. “Upah yang diterima buruh 20 tahun terakhir juga turun 50 persen. Pada 1990-an, upah buruh itu kalau kita belikan beras akan dapat 350 kilogram beras. Tetapi, sekarang di Jakarta sekalipun dengan UMR dua juta dua ratus ribu rupiah bila dibelikan beras hanya dapat membeli 220 kilogram beras. Ini artinya value nilai riil daripada upah buruh itu sudah anjlok,” tegas Hadi.
Bila dari segi upah saja sudah anjlok, pesangon bagi buruh seharusnya diperjuangkan sebagai bentuk penghargaan, jangan sampai pesangon tersebut ditiadakan. Hadi melanjutkan, dalam Pasal 161 UU Ketenagakerjaan dinyatakan buruh yang melanggar perjanjian kerja mendapatkan pesangon. Sementara menurut Pasal 162 UU tersebut bila buruh pamit baik-baik justru tidak diberikan pesangon. Dengan adanya ketentuan tersebut seakan-akan negara mendidik agar buruh berperilaku tidak baik sehingga bila di-PHK akan diberi pesangon dan sebaliknya.
Terkait tidak diberikannya pesangon bagi buruh yang di-PHK karena ditahan, Hadi berargumen bahwa tidak ada alasan yang membenarkan perusahaan mem-PHK buruh yang ditahan. Menurut Hadi, perusahaan sama sekali tidak mengalami kerugian apa pun kalau buruh ditahan karena perusahaan sendiri memutuskan bila buruh ditahan, perusahaan tidak perlu membayar upah buruh tersebut. Karena perusahaan tidak mengalami kerugian apa pun, Hadi berpendapat perusahaan tidak perlu melakukan PHK terhadap buruh yang ditahan, terlebih bila penahanan buruh belum memperoleh kekuatan hukum mengikat dari pengadilan. (Yusti Nurul Agustin/mh)