Perdebatan apakah Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) yang memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Banten untuk melaksanakan pemungutan suara dalam Pemilukada Kota Tangerang 2013 dengan mengikutsertakan dua bakal pasangan calon yang telah dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi fokus persoalan dalam sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah Kota Tangerang di Mahkamah Konstitusi, Selasa (24/9) siang, di Ruang Sidang Pleno MK.
Berbeda dengan pandangan para ahli Pemohon pada persidangan sebelumnya, dua ahli yang dihadirkan oleh Pihak Terkait, Saldi Isra dan Dian P. Simatupang, memberikan pandangan sebaliknya. Menurut kedua ahli ini, pada prinsipnya Putusan DKPP Nomor 83/DKPP-PKE-II/2013 dan 84/DKPP-PKE-II/2013 dapat dibenarkan, khususnya dalam konteks melindungi hak untuk dipilih (rights to be candidate) dan demi memenuhi kepentingan umum dalam Pemilukada.
Guru Besar Hukum Tata Negara Saldi Isra mengungkapkan bahwa Putusan DKPP tersebut dapat diterima bila diukur dari sudut pandang keberadaan DKPP sebagai bagian dari penyelenggara Pemilu yang turut bertanggungjawab memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum dalam proses Pemilukada. “Putusan DKPP yang masuk ke ranah penyelamatan rights to be candidate dapat diterima dan memiliki alasan yang dapat dibenarkan,” tegasnya.
Selain itu, menurut Saldi, Putusan tersebut semakin mendapatkan legitimasinya karena diambil di tengah tidak efektifnya mekanisme penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilukada di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurutnya, proses penyelesaian sengketa pemilukada di PTUN selama ini masih dilakukan dengan cara yang biasa, sehingga tidak seimbang dengan porsi waktu yang tersedia dalam tahapan pelaksanaan Pemilukada. Seringkali yang terjadi adalah persidangan di PTUN sedang berlangsung atau belum selesai, namun tahapan pemungutan suara sudah harus dilaksanakan.
Apalagi, sambung Saldi, dalam sistem pemilu yang berlaku saat ini, putusan pengadilan, dalam hal ini PTUN, tidak menjadi salah satu alasan untuk menunda tahapan Pemilukada. Hingga pada saat yang bersamaan, bakal pasangan calon tersebut kehilangan kepastian hukum atas haknya sebagai calon kepala daerah. “Akhirnya upaya hukum yang ditempuh melalui PTUN menjadi sia-sia,” ujarnya
Meskipun begitu, Saldi berpandangan, hal tersebut bukan murni kesalahan PTUN, melainkan disebabkan pula oleh adanya celah hukum yang membuka kesempatan bagi KPU yang tidak independen untuk berlaku curang. Oleh karena itu, ia menilai, tindakan DKPP dalam perkara ini harus dipahami sebagai upaya untuk mengisi kelemahan atau kekosongan hukum dalam rangka memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pihak yang telah dilanggar haknya oleh KPU Kota Tangerang. “Untuk itu tidak ada yang salah atas putusan DKPP. Lagipula putusan DKPP untuk memulihkan hak konstitusional bukan untuk pertama kali, sebelumnya juga telah terjadi pada Pemilukada Jawa Timur,” ungkapnya.
Sementara itu, Dian P. Simatupang menyatakan, Putusan DKPP tersebut harus dinilai dari sudut pandang penegakan hukum administrasi negara yang menempatkan sisi legitimiasi hukum sebagai tujuan utama. “Apabila persoalan legalitas dan legitimasi bertentangan maka menurut hukum administrasi negara, maka legitimasi dan kepentingan umum yang harus dilindungi merupakan segala-galanya dalam administrasi negara. Sehingga yang paling utama adalah persoalan legitimasi,” tegasnya.
Menurut Dian, demi legitimasi, dalam praktiknya kadangkala ada kewenangan yang mesti dilampaui. Tapi, lanjut Dian, hal itu harus dilandasi pada pertimbangan untuk melindungi kepentingan umum.
Adapun ahli Termohon, Mantan Anggota KPU Endang Sulastri, berpendapat, dari sisi KPU, Putusan DKPP tersebut merupakan suatu keputusan yang wajib untuk dilaksanakan. “KPU sebagai penyelenggara Pemilu tidak berwenang untuk menilai atau menginterpetasikan putusan lembaga lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang,” paparnya.
Oleh karena itu, ia menilai, tindakan KPU Banten yang melaksanakan Putusan DKPP telah sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku. “Meskipun ada kontroversi terhadap putusan dari lembaga-lembaga tersebut, tetapi tidak ada pilihan bagi KPU untuk tidak melaksanakan putusan-putusan tersebut, karena itu adalah kewajiban dari KPU untuk melaksanakan keputusan sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang,” tutupnya. (Dodi/mh)