Mahkamah Konstitusi (MK) selalu berpatokan dan mengikuti hukum formal sepanjang hukum tersebut tidak menghambat terwujudnya keadilan. Akan tetapi, apabila hukum dianggap resisten mewujudkan keadilan, MK akan menerobosnya agar keadilan dapat diwujudkan. Bagi MK, menggali rasa keadilan merupakan kewajiban yang melekat sepanjang hayat. Karena menggali rasa keadilan masyarakat merupakan pesan terpenting dari Undang-Undang Dasar 1945 yang wajib dilaksanakan lembaga peradilan.
Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi M. Akil Mochtar pada ceramahnya pada acara kuliah umum yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Ilmu Hukum PPS Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jumat (20/9/2013) di Aula Serba Guna Fakultas Hukum UKSW Salatiga yang bertemakan “Penciptaan Norma-Norma Baru melalui Putusan Mahkamah Konstitusi”.
Akil dalam kesempatan tersebut juga menegaskan, landasan konstitusionalitas mewajibkan putusan MK senantiasa diarahkan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Bahkan jika perlu dan terpaksa MK harus melabrak ketentuan formal undang-undang. Pada konteks ini, terang Akil, MK berupaya memahami betul tugas dan fungsinya yang ternyata tidak sekedar menyelesaikan sengketa konstitusional, melainkan juga menjamin ketertiban umum yang berkeadilan. Akil juga mengetengahkan kondisi ketatanegaraan yang berkembang luar biasa, sehingga MK harus selalu meresponnya. “Karena itulah, MK juga merespon dengan langkah-langkah dan terobosan yang seringkali dianggap luar biasa,” terangnya.
Secara umum, dijelaskan oleh Akil bahwa banyak kalangan mengatakan, sesuai desain awalnya apabila DPR dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang berperan sebagai positive legislator, maka MK merupakan negatif legislator. Sebagai negatif legislator, MK hanya berwenang menyatakan pasal dalam undang-undang bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Artinya, MK tidak dimungkinkan menciptakan norma baru dalam putusannya. Kedudukan konstitusi dan peran MK sebagai pengawal konstitusi, lanjut Akil, dimungkinkan MK membuat putusan yang menegaskan norma Undang-Undang Dasar. “Misalnya terkait dengan makna “dikuasai negara” sebagaimana dimaksud pada Pasal 33. Atau, prasyarat untuk disebut sebagai kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dikehendaki Pasal 18B,” kata mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini.
Kemudian, menurut Akil, putusan MK dapat menciptakan norma baru sebagai hasil dari penafsiran MK terhadap konstitusi. Hal ini dilakukan untuk menghindari pertentangan norma antar undang-undang yang sederajat, kekaburan norma, dan putusan MK untuk mencegah dan mengisi kekosongan hukum atau melengkapi ketidaklengkapan norma dalam undang-undang.
Dalam konteks menciptakan norma baru melalui putusan tersebut, setidaknya MK melakukan sekurang-kurangnya dua jalan. Yang pertama, ketika dalam putusannya, MK menyatakan suatu frasa bertentangan dengan konstitusi dan dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dan yang kedua, melalui putusan yang menyatakan suatu ketentuan undang-undang konstitusional bersyarat atau tidak konstitusional bersyarat,” lanjut Akil.
Dalam banyak kesempatan, putusan MK menerobos ketentuan formal misalkan terkait putusan MK sendiri yang ditentukan amar putusannya hanya menyatakan permohonan tidak dapat diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Tetapi MK, jelas Akil, demi keadilan substantive membuat terobosan dengan membuat putusan inkonstitusional bersyarat dan konstitusional bersyarat.
“Putusan konstitusional bersyarat berarti MK menyatakan bahwa suatu ketentuan undang-undang tidak bertentangan dengan konstitusi dengan memberikan persyaratan pemaknaan dan keharusan kepada lembaga negara dalam pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang untuk memperhatikan penafsiran MK atas ketentuan UU yang diuji tersebut. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi atau ditafsirkan lain oleh lembaga negara yang melaksanakannya, maka ketentuan undang-undang yang sudah diuji tersebut dapat diajukan untuk diuji kembali oleh MK,” terang Akil. Adapun mengenai putusan tidak konstitusional bersyarat berarti suatu ketentuan dapat bertentangan dengan konstitusi apabila tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan MK dalam putusannya.
Akil juga mengatakan, tidak tepat apabila MK disebut superbody mengingat paradigma hubungan lembaga negara dalam struktur ketatanegaraan pasca perubahan UUD 1945 tidak lagi bersifat veritikal-hierarkis, melainkan fungsional-horizontal. “Dengan demikian, lembaga-lembaga negara berada dalam posisi sejajar dan sederajat. Keleluasaan MK dalam menafsirkan konstitusi bukan tanpa batas. Karena ada rambu-rambu rambu konstitusional yang membatasi MK,” jelas Akil meyakinkan.
Kuliah umum ini dimoderatori oleh Umbu Rauta yang dihadiri oleh Rektor UKSW Pendeta John A. Titaley, Dekan Fakultas Hukum UKSW Khrisna Djaja Darumurti, Ketua Program Magister Ilmu Hukum UKSW Tri Budiyono, para pejabat sipil, kepolisian, dan anggota TNI Kota Salatiga dan dosen dan mahasiswa Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum UKSW Salatiga. (Hidayat/mh)