Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) memiliki tujuan untuk lebih menjamin kepastian hukum. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR Ruhut Sitompul ketika mewakili DPR dalam pengujian UU PTPK yang berlangsung pada Kamis (19/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
“(UU PTPK) juga bertujuan untuk menghindari keragaman penafsiran hukum, melindungi hak sosial ekonomi masyarakat, serta memperlakukan secara adil pelaku tindak pidana korupsi,” urai Ruhut di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva.
Kelaziman
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Ditjen Litigasi Kemenhukham Mualimin Abdi menuturkan tindak pidana korupsi telah terjadi secara sistemik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan negara, namun secara sosial dan ekonomi, maka diperlukan cara lain pemberantasan tipikor. “Maka diperlukan cara khusus dengan metode khusus, salah satunya pembuktian terbalik terhadap terdakwa,” tambahnya.
Mualimin menjelaskan Pemohon telah mengetahui sebagai PNS, bahwa pemberian hadiah dilakukan dalam rangka untuk menggerakkan atau tidak melakukan sestuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Menurut Pemerintah, lanjut Mualimin, frasa ‘patut diduga’ setara dengan kata ‘diketahui’ yang memiliki kedudukan sama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. “Dan kata maupun frasa tersebut mempunyai sanksi hukuman yang sama bahwa frasa ‘patut diduga’ telah lazim diatur dalam KUHAP,” urainya.
Keberadaan pasal tersebut, papar Mualimin, UU PTPK diperlukan terkait beberapa alasan, di antaranya mendidik masyarakat untuk tidak melakukan pemberian hadiah, gratifikasi, atau penyuapan kepada para pejabat. “Mencegah tindak pidana korupsi, mendorong masyarakat untuk bertindak teliti dan cermat, serta meningkatkan sikap kehati-hatian masyarakat,” paparnya.
Permohonan ini dimohonkan oleh tersangka kasus dugaan penerimaan suap penganggaran proyek pengadaan Al Quran dan Laboratorium Kementerian Agama, Zulkarnain Djabar. Zulkarnain Djabar yang diwakili Andi Muhammad Asrun selaku kuasa hukumnya menyampaikan bahwa hak konstitusional Pemohon telah dirugikan dengan diterapkannya Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasannya, Pasal 12 UU PTPK tidak memiliki kepastian hukum. Dengan Pasal 12 UU tersebut itu pulalah Pemohon didakwa sebagai penerima suap proyek pengadaan Al Quran dan Laboratorium Kementerian Agama.
Selain itu, Pemohon perkara nomor 75/PUU-XI/2013 ini menilai Pasal 12 UU PTPK tidak memenuhi standar sebagai the rules of law principles sebagaimana dirumuskan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa. Asrun pun menegaskan bahwa pasal tersebut telah menjelma menjadi suatu norma tanpa batas sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Hal itu disebabkan bunyi frasa “patut diduga” dalam poin-poin dalam pasal tersebut menimbulkan konsekuensi hukuman kepada Pemohon menjadi lebih tinggi dibandingkan Pasal 5 UU PTPK. (Lulu Anjarsari/mh)