Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian atas UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengenai permintaan daerah pemilihan (dapil) khusus bagi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Putusan bernomor 2/PUU-XI/2012 yang dibacakan Kamis (19/7) oleh sembilan hakim konstitusi ini dimohonkan oleh Priyo Puji Wasono, dkk.
MK berpendapat UUD 1945 tidak mengatur secara tegas mengenai dapil, melainkan mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Mengenai dalil Para Pemohon yang pada pokoknya keberadaan dapil luar negeri adalah suatu keharusan, MK menyatakan, terdapat beberapa kriteria yang secara umum dijadikan pertimbangan dalam membentuk dapil, antara lain, (i) kepadatan atau populasi penduduk dalam wilayah; (ii) bentang alam yang menjadi batas geografis; (iii) kemudahan akses dan komunikasi antara pemilih dan calon peserta pemilihan umum; (iv) keragaman kepentingan penduduk;(v) kondisi sosial, ekonomi, dan politik penduduk serta wilayah, (vi) kondisi administratif penduduk, dan (vii) sistem atau mekanisme kerja lembaga perwakilan yang anggotanya akan diisi dari hasil pemilihan umum tersebut.
Berdasarkan kriteria umum tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa konsep wilayah sebenarnya semata-mata untuk membingkai jumlah atau besaran penduduk WNI yang berhak mengikuti pemilihan umum. Dengan demikian, konsep wilayah dalam pembentukan dapil harus dimaknai fleksibel dalam arti wilayah dimaksud adalah wilayah imajiner, yaitu cukup apabila dapat dibayangkan bahwa dalam suatu wilayah imajiner tersebut telah terkumpul atau setidaknya dapat dikumpulkan sejumlah pemilih yang memenuhi syarat mengenai harga/nilai dan jumlah kursi wakil rakyat yang hendak diperebutkan.
Mahkamah juga mempertimbangkan UU 8/2012 sebagaimana diterangkan secara tertulis oleh DPR dalam membagi Dapil selalu menggunakan basis wilayah, baik provinsi maupun bagian provinsi, yang memiliki kedekatan atau berbatasan, serta prinsip integralitas wilayah yang berarti dapil harus integral secara geografis, kesinambungan wilayah yang berarti satu dapil harus utuh dan saling berhubungan secara geografis dan kohesivitas penduduk yang berarti satu dapil hendaknya dapat menjaga kesatuan unsur sosial budaya penduduk. “Hal demikian menjadi dasar argumen pembentuk Undang-Undang untuk tidak mengakomodasi keberadaan pemilih di luar negeri ke dalam suatu daerah pemilihan khusus di luar negeri atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” terang Mahkamah.
Para pemohon sebanyak 31 orang adalah perseorangan warga negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di luar negeri yang berkepentingan secara langsung untuk dapat diwakili dengan hadirnya dapil luar negeri dalam rangka pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara, baik hak sipil dan politik, maupun hak-hak sosial ekonomi sebagaimana ditegaskan UUD 1945.
UU tersebut mengakibatkan pertentangan dengan prinsip dan persamaan hak warga negara dalam kedudukannya untuk diwakili dalam pemerintahan sehingga Para Pemohon menganggap hak-haknya sebagai warga negara adalah sama dengan WNI yang berdomisili di seluruh wilayah Indonesia. Para Pemohon juga memiliki kedudukan yang sama dengan WNI lainnya di dalam pemerintahan dan memiliki hak yang sama untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Bagi Pemohon, ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU yang diujikan tidak mengakomodasi secara khusus keberadaan pemilih di luar negeri yang secara de facto tidak berdomisili di propinsi atau kabupaten/kota sebagaimana disebutkan di dalam pasal tersebut.
Para Pemohon mendalilkan tidak adanya dapil luar negeri mengakibatkan terjadinya voters disenfranchisement dan digabungkannya pemilih luar negeri sebagai bagian dari Dapil II DKI Jakarta, ternyata tidak menjadikan wakil rakyat yang terpilih di Dapil II DKI Jakarta benar-benar mewakili kepentingan para pemilih di luar negeri. Terkait ini, Mahkamah berpendapat keputusan sebagian pemilih di luar negeri untuk tidak mengikuti pemungutan suara bukan semata-mata diakibatkan oleh tidak adanya dapil luar negeri. Tidak cukup bukti yang dapat menguatkan dalil tidak adanya dapil luar negeri berkorelasi langsung dengan tidak digunakannya hak pilih oleh pemilih di luar negeri. “Hak pilih WNI di luar negeri yang di wilayah tinggalnya tidak diselenggarakan pemungutan suara, masih tetap dilindungi dengan diperbolehkannya WNI bersangkutan menggunakan hak pilih di wilayah lain yang menyelenggarakan pemungutan suara,” jelas Mahkamah.
Selain itu, konsep pembentukan dapil yang mengakomodasi atau tidak mengakomodasi dapil luar negeri, Mahkamah berpendapat bahwa kedua konsep dimaksud adalah kebijakan hukum yang bersifat terbuka (opened legal policy) yang tidak bertentangan dengan UUD 1945. Secara konseptual, keduanya telah mengakui dan menampung suara para pemilih baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri.
“Dalam kondisi yang secara rasional tidak atau belum memungkinkan dicapainya tujuan Pemilu yang ideal, maka negara harus memastikan bahwa proses untuk mencapai tujuan dimaksud dilaksanakan sebaik-baiknya. Dengan perkataan lain, proses pembentukan lembaga perwakilan yang salah satu tahapannya adalah menentukan dapil, harus benar-benar mengupayakan keterwakilan seluruh pemilih,” lanjut Mahkamah.
Penentuan dapil menurut Mahkamah, pada dasarnya merupakan gabungan antara pertimbangan wilayah geografis tertentu dengan keberadaan warga negarapemilih. Keberadaan kedua hal tersebut harus menjadi pertimbangan pertama dalam menentukan apakah suatu dapil tertentu dapat dibentuk atau tidak. UUD 1945 tidak mengatur kombinasi suatu luasan wilayah tertentu dengan sifat dan jumlah penduduk ditetapkan sebagai dapil. Artinya, UUD 1945 tidak pernah melarang ataupun mewajibkan dibentuknya Dapil tertentu, termasuk di dalamnya dapil luar negeri, sehingga memberikan kebebasan kepada pembentuk undang-undang selama mematuhi batasan-batasan lain dalam UUD 1945.
“Mahkamah berpendapat bahwa dibentuknya Dapil luar negeri bukan hal yang bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya terbuka kemungkinan untuk dibentuk. Demikian pula tidak dibentuknya Dapil luar negeri dalam UndangUndang yang dimohonkan pengujian juga bukan merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945,” ujar hakim konstitusi.
Terkait argumen bahwa para pemilih di luar negeri memiliki kepentingan yang berbeda dengan para pemilih di Dapil II DKI Jakarta sehingga diperlukan dapil luar negeri, menurut Mahkamah argumen dimaksud tidak cukup memberikan keyakinan bagi Mahkamah. Karena seandainya alur argumen para Pemohon diikuti, hal demikian tidak menuntaskan permasalahan mendasar yang didalilkan para Pemohon. “Jumlah WNI di luar negeri memang relatif banyak, namun dengan distribusi atau persebaran yang luas (vide bukti P-5), keadaan demikian memunculkan pertanyaan lebih lanjut, yaitu apakah secara geografis persebaran WNI (dan kepentingan masing-masing) yang demikian dapat diselesaikan dengan pembentukan satu atau beberapa Dapil luar negeri,” jelas Mahkamah.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil-dalil Pemohon mengenai pengujian UU No. 8 Tahun 2012 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (3), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 tidak beralasan menurut hukum. “Amar putusan menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK M. Akil Mochtar selaku ketua sidang pleno saat membacakan putusan. (Utami Argawati/mh)