Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan yang diajukan oleh Samady Singarimbun mengenai aturan yang memperluas unsur secara melawan hukum dalam tindak pidana korupsi. Demikian putusan dengan Nomor 44/PUU-IX/2013 dibacakan oleh Ketua MK M. Akil Mochtar dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi pada Selasa (17/9) di Ruang Sidang Pleno MK. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Akil.
Dalam pendapat Mahkamah yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Hamdan Zoelva, MK pernah memutus permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) melalui Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006.
Dalam permohonan tersebut, MK menimbang Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang adil yang dimuat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK sepanjang mengenai frasa “Yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana”, harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan pertimbangan Mahkamah tersebut, lanjut Hamdan, meskipun ada perbedaan dasar pengujian antara permohonan Nomor 003/PUUIV/2006 dengan permohonan perkara ini, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, namun permohonan Pemohon tentang pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK pada hakikatnya sama dengan permohonan Nomor 003/PUU-IV/2006 dan telah dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006. “Sehingga permohonan tersebut adalah ne bis in idem,” ujar Hamdan.
Sedangkan terhadap tuntutan (petitum) Pemohon agar Mahkamah menyatakan setiap aparatur negara/pemerintah yang divonis dengan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor merupakan surat putusan pemidanaan yang batal demi hukum sebagaimana Pasal 197 ayat (1) huruf f dan ayat (2) juncto Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, menurut Mahkamah, hal tersebut tidak berkait dengan pengujian norma terhadap UUD 1945.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon ne bis in idem dan bukan persoalan konstitusionalitas norma,” tandas Hamdan.
Samady Singarimbun merupakan tersangka kasus korupsi yang dinyatakan bebas di pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Negeri Rangkas Bitung menyatakan Pemohon tidak bersalah. Namun, di tingkat kasasi, Pemohon dinyatakan terbukti melanggar ketentuan tersebut. Akibatnya, sekarang Pemohon harus menjalani hukuman di Lapas Suka Miskin, Bandung. (Lulu Anjarsari/mh)