Dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang praktik korupsi dalam bentuk kejahatan pencucian uang (money laundring), Mahkamah Konstitusi (MK) menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi UU No.8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jumat (6/9) di gedung MK. Pada acara yang dihadiri oleh seluruh pegawai MK tersebut, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf menjadi narasumber utama yang langsung menyampaikan penjelasan tentang praktik-praktik pencucian uang, khususnya yang melibatkan para penyelenggara negara.
Pada kesempatan tersebut, Yusuf mengatakan, tujuan acara ini adalah untuk menyosialisasikan budaya antikorupsi di Indonesia. Yusuf prihatin, saat kemiskinan melanda di sejumlah daerah, di sisi lain terjadi korupsi yang luar biasa di Indonesia. “Upaya memberantas korupsi kembali ke moral pelakunya dan harus didukung clean and good governance,” imbuh Yusuf.
Saat ini PPATK sedang membangun rezim anti money laundry karena sistem pelaporan transaksi keuangan yang berjalan sekarang tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Kalau sistem pelaporan transaksi keuangan itu jelas, maka akan mudah terdeteksi ada tidaknya tindak pidana korupsi di sebuah perusahaan atau lembaga,” urai Yusuf.
“Clean dan good governance juga ditujukan agar perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga tidak dijadikan alat pencucian uang,” ucap Yusuf yang juga memaparkan bahwa berdasarkan data PPATK, jumlah pajak yang terkumpul dari pegawai di Indonesia sebesar Rp 80 triliun. Sedangkan dari nonpegawai, pajak yang terkumpul sebesar Rp 3 triliun.
Pada kesempatan itu, Yusuf antara lain juga memaparkan definisi pencucian uang sebagai upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana, sehingga harta kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Ia juga menjelaskan perihal proses pencucian uang yang terdiri atas placement (penempatan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan), layering (memindahkan atau mengubah bentuk dana melalui transaksi keuangan yang kompleks dalam rangka mempersulit pelacakan asal usul dana), dan integration (mengembalikan dana yang telah tampak sah kepada pemiliknya sehingga dapat digunakan dengan aman).
Yusuf juga menerangkan modus transaksi pencucian uang yaitu smurfing (memecah-mecah transaksi dari sejumlah besar uang menjadi kecil-kecil), structuring (melakukan transaksi dari yang semula berjumlah kecil, makin lama makin besar di bawah batas minimum pelaporan) dan u-turn (memutarbalikkan transaksi untuk kemudian dikembalikan ke rekening asalnya).
Wajib lapor rekening
Sementara itu, Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar saat menyampaikan sambutan mengatakan bahwa upaya untuk merongrong lembaga MK tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, sudah banyak yang dilakukan MK dalam menghadapi rongrongan tersebut. Di antaranya, MK mewajibkan kepada seluruh pegawai untuk melaporkan harta kekayaan. Selain itu, MK sudah mendeklarasikan komitmen antikorupsi, serta melakukan banyak hal untuk mewujudkan good governance melalui Mahkamah yang transparan dengan menggelar persidangan secara terbuka.
“Hal itu sekaligus merupakan wujud transparansi dan akuntabilitas MK terhadap masyarakat, khususnya masyarakat pencari keadilan,” tambah Janedjri.
Namun, lanjut Janedjri, berbagai upaya yang dilakukan MK masih belum cukup. Dengan latar belakang seperti itulah, dilakukan kegiatan sosialisasi ini untuk mewujudkan tata kelola lembaga peradilan yang baik dari perspektif UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Output yang kita harapkan, mudah-mudahan materi yang disampaikan beliau nanti bisa kita implementasikan dan bisa menjadi benteng bagi kita untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak terpuji di lingkungan MK,” ucap Janedjri kepada para pegawai MK yang hadir. (Nano Tresna Arfana/mh)